Lihat ke Halaman Asli

Balada Negeri Lautan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nenek moyangku orang pelaut gemar mengarung luas samudra menerjang ombak tiada takut menempuh badai sudah biasa…..

Itu adalah penggalan lirik lagu anak-anak yang dulu sering kita dengarkan di masa kecil. Lirik lagu itu juga seakan mewakili kebanggaan bangsa Indonesia sebagai pemilik negeri lautan.

Berdasarkan catatan sejarah, nenek moyang beberapa suku bangsa di nusantara adalah pelaut ulung dalam mengarungi bentang samudera, bahkan sampai ke manca negara. Siapa yang tak kenal dengan pelaut asal Bugis, yang sangat piawai dalam mencipta kapal phinisi dan handal dalam mengarungi gelombang samudera. Jejak mereka tidak hanya dapat ditemui di kawasan nusantara saja, melainkan sampai nun jauh di Madagaskar.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak terbantahkan lagi bahwa nusantara memiliki lautan yang sangat luas. Dengan kekayaan yang sangat melimpah dan sudah seharusnya bisa dinikmati oleh pemiliknya, yaitu bangsa Indonesia.

Panjang garis pantai Indonesia mencapai 81.000 km, atau 14% garis pantai di seluruh dunia. Sementara luas wilayah perairannya mencapai ±5,8 juta km2. Terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara dan 2,7juta km2 perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Kandungan potensi sumber daya ikan lautnya (minus ikan hias), diperkirakan mencapai 6,26 juta ton per tahun. Itu belum termasuk kandungan sumber daya alam lainnya seperti mineral dan hidrokarbon.

Namun, sebagai bangsa maritim, ternyata kita belum mengolah anugerah yang begitu luar biasa itu. Jangankan bicara mengenai hasil maksimal yang bisa didapat dari potensi sumber daya laut yang begitu luar biasa, kedaulatan batas wilayah laut saja belum bisa 100% ditegakkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Tentara laut Indonesia belum bisa menciptakankan efek gentar bagi calon musuh potensial, karena keterbatasan alutsista. Buktinya, tetangga kita yang mengaku masih serumpun pun, dengan santai mengoyak kedaulatan bangsa besar ini di perbatasan lautnya. Padahal, sejarah pernah mencatat, di era 60an angkatan laut kita pernah sangat disegani keperkasaannya.

Namun, ketidakberdayaan itu bukan kesalahan angkatan perang negeri ini, maupun tetangga yang kadang kurang ajar tersebut. Jajaran punggawa perairan nusantara ini, justru harus berkutat menyiasati segala kekurangan ketika menjalankan tugas yang diembannya. Semua permasalahan kembali pada kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Di sisi lain, pemanfaatan sumber daya kelautan yang begitu melimpah pun juga masih jauh dari maksimal. Di negeri yang 70% luas wilayahnya adalah laut, terjadi suatu kejadian yang sangat paradoksal. Menurut kabar di satu media on line, sejak 2010 industri pengalengan ikan nasional kerepotan dalam menghadapi masalah bahan baku. Sehingga harus mengimpor ikan sarden untuk memenuhi kebutuhan dari beberapa negara, seperti China, Korea dan Jepang.

Bukan tidak mungkin ikan yang diimpor itu bersumber dari laut kita sendiri, mengingat masih lemahnya pengawasan teritorial dan sektor penangkapan ikan nasional. Tentunya, kondisi ini pun bukan salah mereka. Semuanya kembali pada kebijakan pemerintah dalam menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan.

Walaupun telah mereshuffle satu menteri kelautan yang cukup berprestasi, karena dugaan kasus yang belum terbukti, tidak adil pula rasanya jika hanya menimpakan seluruh kesalahan pada pemerintah yang berkuasa sekarang. Permasalahan ini sebetulnya sudah lama terjadi, dan juga luput dari perhatian pemerintahan sebelumnya. Pasca reformasi, fokus perhatian terbesar elit negeri ini hanya pada masalah politik.

Idealnya pemerintah sudah memiliki desain strategis yang jelas dan bersifat berkelanjutan. Sudah saatnya stakeholders negeri ini bangkit dari ruang debat kusir politik, dan mulai secara jujur dan serius mengelola seluruh sumber daya alam yang merupakan karunia dari Yang Maha Kuasa. Jangan sampai, Dia yang telah memberi akan menarik kembali karunia-Nya itu, karena kita lalai dalam memanfaatkan amanahnya tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline