Lihat ke Halaman Asli

F. I. Agung Prasetyo

Desainer Grafis dan Ilustrator

Lho, Memangnya Berapa Kali Anda Menyatakan Cinta? *Tanggapan atas Artikel Nganu

Diperbarui: 24 Desember 2023   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tali. *Pixabay/Alexis

"...Meski akhirnya kita ditolak dan merasakan sakit hati, namun sakit hati akibat penolakan akan lebih cepat sembuh daripada jika kita hanya memendamnya..."
Hah? Mosok?

Saya sungguh penasaran dengan profil penulis dari tulisan yang saya baca kemarin lusa diganjar HL oleh admin (disebabkan saya gatal ingin berkomentar sesuatu dari tulisan tadi). Tulisannya berjudul: "Kalau Suka Sebaiknya Katakan Saja, Mengapa?" (klik saja backlink-nya)

Dan karena saya vakum lama dari Kompasiana, maka saya tak bisa langsung mengetahuinya. Apalagi keterangan di profilnya sangat minim. Hanya PNS sebagai kredensial. Anyway, hal ini lebih disebabkan karena faktor kredensial umumnya dipandang berhubungan dengan pemikiran dalam tulisan.

Dan karena saya bukan tipe stalker yang kurang kerjaan maka hal tadi kemudian saya abaikan saja. Tapi saya lalu berpikir lebih baik menulis ketimbang berkomentar pendek. Menumpahkan segalanya dari sudut pandang saya. Untuk Kaum Adam khususnya.

Jadilah artikel ini. Dengan banyak penekanan yang tersebar sepanjang artikel.

*

Soal 'Cinta' dan 'Mencintai' adalah tema yang selalu menarik diangkat dalam karya apapun. Lagu, Film, Puisi, dan lainnya. Begitu juga soal 'Patah Hati' yang mengisyaratkan cinta tak (lagi) berbalas. 'Patah Hati' pun penyebabnya ada bermacam-macam. Mulai dari perceraian, selingkuh, dan lain-lain. Hanya, yang ingin saya soroti di sini adalah mendapati 'impian yang tidak sesuai kenyataan' dari penolakan atas pernyataan cinta. Saat mempunyai rasa cinta terhadap seseorang, kita seperti berkeinginan untuk menggapai cita-cita dan seseorang tersebut adalah tujuan tertinggi dalam hidup kita. Hal ini umum.

Namun tentunya kita semua tahu jika di dunia ini didominasi oleh budaya patriarki. Dimana banyak pria didaulat untuk menjadi pemimpin, pemicu, pendahulu, perambah, pembuka jalan, dan sederet hal lainnya. Tak hanya dalam hal pekerjaan, namun bahkan dalam hal 'menyatakan cinta'. Pendapat umum menyatakan seorang pria yang harus memulainya.

Eh loh, tapi saya tidak meremehkan seorang wanita yang menyatakan cinta. Saya tidak memberikan label apapun kepada wanita demikian yang menolak pandangan masyarakat umum bahwa 'seharusnya yang menyatakan cinta adalah pria' karena menaruh hormat: memiliki perasaan cinta sekaligus menyatakannya adalah hak privat masing-masing orang termasuk wanita.
Karena wanita mempunyai pertimbangan pula:
- Pria tak kunjung menyatakan cinta. Yang ini pun bisa jadi karena seorang pria biasanya 'bertugas' menafkahi, maka pada saat itu si pria merasa 'belum siap' disebabkan belum mempunyai pekerjaan (baca: penghasilan) layak. Padahal terkadang bila seandainya menyatakan pun, mungkin saja si wanita adalah tipe yang 'menerima apa adanya', ASAL SI PRIA MAU BERJUANG.
- Pria tidak sadar jika dia 'diincar'.
- Pria kelewat introvert.
- Pria punya idaman lain yang dia belum tau perasaan balik kepadanya.
- Pria malu (atau takut) jika ditolak
dan lain sebagainya.

Namun cara didik antara wanita dan pria sudah dibedakan sejak lahirnya yang membuat wanita lebih dapat mengkomunikasikan dirinya lebih baik dalam menumpahkan keluh-kesahnya kepada orang terdekat---ketimbang si pria, meskipun hal ini juga tergantung dari karakter individu tersebut. Karena itulah ada perbedaan dari cara keduanya dalam menyikapi setiap hal yang dilakukan atau setiap peristiwa yang dialami. Hanya, hal ini tak bisa digeneralisir pula. Karena pemikiran, pergaulan, wawasan, pengalaman, pola didik, kondisi finansial keuangan, dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline