Lihat ke Halaman Asli

Epilog Percakapan Mengenai Sedekah yang Dipelintir

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Barangsiapa menghendaki dunia, kami segerakan baginya di dunia apa-apa yang Kami kehendaki untuk siapa yang Kami kehendaki. Kemudian Kami adakan untuknya neraka jahanam, ia masuk ke dalamnya sedang ia tercela dan terusir.

Barangsiapa menghendaki akhirat dan mengusahakan amalan untuk akhirat itu, sedang dia orang beriman, maka usahanya itu diterima (Tuhan).

Masing-masing, Kami anugerahi mereka itu dan mereka ini pun dengan pemberian Tuhanmu. Pemberian Tuhanmu tiada terlarang (kepada siapapun juga).

Perhatikanlah, bagaimana Kami melebihkan setengah mereka dari yang lain. Sesungguhnya akhirat terlebih besar derajatnya dan terlebih besar kelebihannya.”

(Q.S. Al-Isra’: 18-21)

Islam mengajak setiap muslim berusaha untuk urusan dunia dengan menggunakan nilai-nilai ibadah di benaknya. Di sisi lain, Islam meminta setiap muslim untuk beribadah dengan meninggalkan nilai-nilai dunia dan materi.

Pada salat Jumat yang lalu di sebuah Masjid di Yogyakarta, sang khatib menjelaskan mengenai nilai-nilai utama atau main values yang digunakan setiap orang di dalam kepalanya. Nilai-nilai ini menjadi dasar bagi sikap dan perbuatan seseorang. Sebagai contoh, seorang yang mengutamakan nilai kejujuran di benaknya tidak akan terkesan oleh orang sehebat apa pun yang tidak menggunakan nilai yang sama.

Nilai-nilai utama yang digunakan sebaiknya cukup beberapa saja, tiga atau empat nilai. Sementara nilai-nilai lainnya dijadikan sebagai nilai pendukung atau supporting values. Misalnya, seorang muslim yang ingin menjadi pengusaha dapat menggunakan nilai-nilai kejujuran, kreativitas, kewirausahaan dan ketakwaan sebagai nilai utamanya. Maka dengan demikian ia akan cenderung berusaha dan bekerja secara jujur, tidak berlaku curang, cerdas, giat dan berlaku lurus, tidak menyimpang. Sementara nilai seperti keberhasilan dan kekayaan bisa ditempatkan di bawahnya.

Allah menjamin seorang muslim yang berusaha dengan mengutamakan nilai ketakwaan tetap akan mendapatkan hasil seperti yang diterangkan dalam ayat di atas. Jaminan tersebut juga terdapat pada ayat yang menjelaskan bahwa Allah akan melipatgandakan balasan atas amal kebaikan seseorang, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran akan kerugian materi.

Seorang muslim sudah mengetahui bahwa apabila ayat-ayat Al-Quran diturunkan di atas gunung-gunung maka gunung-gunung itu akan hancur lebur karena tidak mampu menghadapi kekuatannya. Masyarakat muslim yang masih memercayai ajaran sedekah untuk bisnis itu sebaiknya membaca kutipan ayat di atas dengan hati yang tenang dan bersih. Setelah itu, insya Allah kita dapat merasakan ada yang hancur lebur di dalam hati kita.

Barangkali aku bermain-main dengan bentuk tulisanku tetapi tidak dengan isinya. Percakapan mengenai Sedekah yang Dipelintir itu ditujukan bagi sesama muslim yang suka mencari pengetahuan dan kebenaran Islam tentang sesuatu hal yang mungkin belum sempat terpikirkan. Adalah pekerjaan seorang penulis muslim amatir untuk mengeluarkan isi pemikiran di kepalanya agar tidak penuh menumpuk sehingga ia dapat memikirkan hal lain—egois memang.

Namun mendapati berita bahwa banyak saudara muslim yang bersedekah untuk bisnis itu berasal dari luar daerah yang jauh di seberang pulau, membuat hati miris. Aku pernah bertemu dengan dua orang muslim di tempat terpisah di Jakarta yang sudah mengetahui mengenai ketidakjujuran yang melingkupinya sejak awal. Keduanya tinggal di kota yang sama dengan tempat lahirnya ajaran tersebut. Mereka muslim muda Jakarta yang bisa menilai hal itu dari pengetahuan dan pergaulan mereka, meskipun yang dapat mereka lakukan hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Barangkali semakin jauh orang akan semakin tidak memahami apa yang terjadi sebenarnya.

Semua muslim hampir dapat dipastikan mengenal Imam besar Bukhari dan Muslim. Keduanya adalah ahli hadis yang paling terkemuka. Demi kebenaran, mereka benar-benar meneliti secara hati-hati setiap hadis yang mereka kumpulkan dan orang yang meriwayatkannya, termasuk latar belakangnya. Sudah pasti mereka akan mencoret orang seperti aku dari daftar karena tidak jelas identitasnya. Namun mereka juga akan mencoret orang dengan catatan sejarah hidup yang memengaruhi nilai-nilai kejujuran dan ketakwaan. Tidak ada seorang muslim yang tidak menghormati kedua Imam besar tersebut.

Mengingat saudara-saudaraku di seberang pulau, membuat aku menuliskan tentang hal ini meskipun pahit. Lihatlah aku saja. Anggaplah aku beberapa kali jatuh ke lubang yang sama. Aku berulang kali mencoba berbisnis dengan memanfaatkan modal orang lain dan selalu berakhir dengan masalah dan terpaksa mempertanggungjawabkannya. Namun nilai-nilai utama yang aku gunakan di benakku tidak kunjung berubah. Kemudian inspirasi muncul di ruang yang sempit itu. Bagaimana jika aku dapat berbisnis dengan investasi orang lain tanpa harus bertanggung jawab seperti ini?

Imam Bukhari dan Muslim tidak akan memercayai ajaranku. Sulit menerima ajaran yang menyuruh seorang miskin berutang kepada orang lain untuk kemudian disedekahkan jika ingin mendapatkan rezeki berlipat dari Allah. Tentu ajaran semacam itu kemungkinan besar berasal dari seorang sufi yang hidup gelandangan, berpakaian lusuh, meninggalkan kehidupan duniawi dan selalu mempertaruhkan hidupnya untuk orang lain yang membutuhkan. Bukan dari orang seperti aku yang semiskin-miskinnya masih bisa online.

Kedua beliau tidak akan percaya kepada ajaran yang mengerdilkan keikhlasan bersedekah. Nabi Muhammad saw pernah menceritakan tentang seorang perempuan pelacur Yahudi memberi minum seekor anjing yang kehausan dengan air sumur yang ia ciduk dengan sepatunya lalu Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya. Jangan lihat pelacur, Yahudi, anjing atau sepatunya tetapi lihatlah keikhlasan dan ketakwaannya—dalam hal ini seorang perempuan Yahudi adalah juga seorang yang memercayai tauhid dan kitab suci. Selain itu lihatlah siapa orang yang menceritakannya.

Kisah kesuksesan yang ajaib biasa diceritakan oleh agen MLM tertentu. Seorang kawan yang lama tidak bertemu pernah hampir dua jam mengajak bercakap-cakap tentang bisnis MLM yang dibawakannya. Ia bercerita sambil menunjukkan foto-foto tentang keajaiban orang yang hanya bekerja dengan modal kecil dalam waktu relatif singkat bisa mendapatkan mobil mewah Eropa yang diterimanya sebagai hadiah. Aku ingat sebuah foto berisi seorang yang tersenyum bahagia berdiri di samping mobil mewah yang masih baru di landasan sebuah bandara di Eropa dengan latar belakang pesawat terbang. Entah mengapa, aku sama sekali tidak terkesan. Aku memang kampungan.

Kawan itu sama sekali tidak pernah bercerita tentang produk yang dijualnya. Hanya kemudahan, keuntungan dan manfaat. Juga hitung-hitungan uang. Tentu saja beserta kekayaan yang sama dengan kesuksesan. Kawanku yang lain melayaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku lebih banyak mendengar sebab aku menyadari ia seorang agen MLM, itu sudah pekerjaannya, aku memakluminya.

Sebaiknya ketika terbawa membaca tulisan ini, kita kembali membaca kutipan ayat di atas. Allah tidak mencegah orang mengejar kebahagiaan dunia dengan berusaha mencari rezeki yang banyak sebab Islam mengajarkan setiap muslim untuk bertebaran mencari nafkah. Bekerja untuk menafkahi keluarga dan orang lain lebih baik daripada menghabiskan sepanjang waktu sendirian beribadah tanpa bekerja. Namun jika kita selama ini cenderung menghendaki dunia dalam bersedekah sudah barang tentu kita merasakan sindiran hebat dari ayat tersebut.

Sebagai sebuah refleksi, setidaknya terhadap diriku sendiri, aku pernah mengalami keajaiban bersedekah. Saat itu isi dompetku sudah sangat tipis. Bahkan tidak ada pencopet yang mau duduk-duduk di dekatku dalam bis kota. Ketika salat Jumat di sebuah masjid di Jakarta aku bersedekah lima ribu rupiah. Tidak semua orang bersedia bersedekah walau sekecil itu ataupun pergi salat Jumat. Sementara sebagian orang lain boleh merendahkan nilai sedekahku. Aku tidak peduli, yang jelas aku melakukannya secara ikhlas, lillahi ta’ala. Berselang sekitar satu setengah bulan kemudian aku mendapatkan tujuh juta rupiah.

Hal itu ajaib sebab aku seorang pekerja lepas, setingkat lebih tinggi atau sama saja dengan pengangguran. Tak lama setelah sedekah itu seorang kawan menghubungiku dan aku mendapatkan sebuah pekerjaan yang dikerjakan siang dan malam penuh semangat dalam satu bulan. Setengah bulan kemudian aku menerima pembayaran.

Balasan sedekah tersebut dilipatgandakan lebih dari sepuluh kali. Aku tidak pernah menghitungnya bahkan sampai aku menuliskan tulisan ini. Aku juga tidak pernah berpikir coba seandainya dulu aku bersedekah lebih dari lima ribu rupiah. Biarkanlah salat, ibadah, hidup dan mati kita hanya untuk Allah.

Kita dapat selalu kembali merenungkan kutipan ayat di atas. Seorang muslim berusaha untuk dunianya dengan menggunakan nilai-nilai ibadah bukan beribadah dengan nilai-nilai dunia. Kita dapat memperhatikan diri sendiri apakah kita sedang berusaha atau sedang beribadah. Seorang pekerja kreatif menyadari dirinya sedang berusaha mencari nafkah tetapi dalam bekerja itu nilai-nilai ibadahnya akan memberikan hasil yang bermanfaat bagi orang lain. Demikian pula seorang polisi, tentara, dokter, perawat, pejabat, presiden, menteri, petani, pedagang, supir, buruh, tukang cukur, pelayan rumah makan dan sebagainya. Sementara seorang jamaah haji yang menyadari dirinya sedang beribadah sebaiknya mengikhlaskan pikiran dan hati untuk Allah, meninggalkan nilai-nilai duniawi. Demikian pula orang lain yang merasa dirinya sedang beribadah bukan bekerja, benar tidak?

Tulisan tentang sedekah yang dipelintir itu memang sia-sia. MUI atau pemerintah tentu senang apabila ditunjukkan manfaat dari sedekah untuk bisnis tersebut. Banyak orang pasti terkesan. Tidak seperti ketika aku melihat foto orang dengan mobil mewah di bandara itu atau ketika membaca berita seseorang menenteng dua koper berisi uang milyaran dan kesombongan-kesombongan lainnya. Perbedaan nilai utama di benak kita telah membuat perbedaan persepsi tersebut.

Sebenarnya cara paling mudah bagi seorang muslim adalah kembali kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kita tidak perlu terombang-ambing. Sang khatib salat Jumat itu juga mengatakan bahwa untuk mengubah sikap dan perbuatan kita secara mudah adalah dengan mengubah nilai-nilai utama yang ada di benak kita. Bulan Ramadan adalah waktu yang tepat melakukannya.

Lihatlah di sekitar kita. Kita bisa menilai sendiri nilai-nilai utama di benak sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai materialisme, kekayaan, ketidaksabaran, keangkuhan, ketidakjujuran kuat diduga telah menghasilkan korupsi besar-besaran. Padahal dengan mengubah nilai-nilai tersebut di benak masyarakat, menggantikannya dengan nilai-nilai utama yang cenderung kepada akhirat, insya Allah bangsa Indonesia akan berubah menjadi lebih baik. Rezeki dan kekayaan kita tidak bakal hilang bahkan dapat bertambah berkali lipat meskipun kita mengutamakan nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kesederhanaan dan ketakwaan. Memang belum dibuktikan tetapi kita sudah belajar dari nilai-nilai yang kita gunakan sekarang.

Mudah-mudahan di luar sana ada seorang ulama atau siapa pun orang hebat yang mempunyai pemikiran sama. Seorang ulama yang masih mempunyai waktu untuk melindungi masyarakat muslim di luar organisasinya dari kekeliruan. Dari twit-nya Bapak Mario Teguh mempunyai pendapat sama tentang sedekah. Kita menunggu yang lain tampil ke depan. Menulis tentang ini saja telah menyusahkan apalagi lebih dari itu.

Aku bukan sekuler. Mungkin bagi sebagian muslim tulisan-tulisan ini membuat mendung di benaknya. Biarkanlah mendung itu menjadi hujan yang mendorong kita berteduh di bawah Al-Quran dan hadis-hadis Nabi, mempelajarinya sendiri dengan pikiran tenang dan bersih. Insya Allah, setelah hujan reda, matahari bersinar di dalam benak kita masing-masing. Kita sama-sama melakukannya.

Sejujurnya aku mengagumi saudara Yusuf. Suaranya merdu. Dari seorang muda nakal ia menjadi seorang yang mendekatkan diri kepada Allah. Ia dulu pintar membuat lagu. Sebelum menjadi mualaf dan mengubah namanya menjadi Yusuf Islam, Cat Steven adalah seorang penyanyi, artis musik yang digandrungi banyak orang. Satu lagu yang aku suka—ternyata ciptaannya—adalah The First Cut is The Deepest. Ia mengganti ketenaran, kekayaan, materialisme, dan hingar-bingar kehidupan duniawinya dengan cahaya dan nilai-nilai Islam. Bahkan ia berhenti menyanyi dan bermain musik seperti sebelumnya, tanpa ragu. Dan Allah tetap memberikannya pemberian yang baik. Kutipan ayat di awal tulisan ini sebaiknya dapat menjadi perenungan bagi kita semua. Wallahu’alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline