Lihat ke Halaman Asli

Nasdem, Restorasi Orde Baru

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sambil menunggu 2014, pemerintahan SBY tidak cukup hanya bertahan menghadapi serangan partai-partai politik di Senayan. Di luar media massa dan gerakan masyarakat dalam berbagai bentuknya, mereka harus berhadapan pula dengan sebuah partai politik baru yang didukung oleh mobilisasi sebuah organisasi massa yang menguasai empat stasiun televisi swasta nasional.

Saat ini publik mungkin tidak terlalu memedulikan siapa saja yang menyerang pemerintah dan partai penguasa. Masyarakat sudah telanjur kecewa dengan lenggak-lenggok pemerintah dan kelakuan para birokrat dan politisi yang korup. Keadaan ini bisa membuat masyarakat berpendapat bahwa the enemy of my enemy is my friend. Siapa saja yang menyerang pemerintah dapat saja mencitrakan dirinya berdiri di pihak rakyat yang menginginkan perubahan.

Itulah yang dilakukan oleh “Nasdem”. Dan barangkali itu sesuatu yang wajar saja. Namun tulisan ini ingin memantulkan bayangan wajah partai baru itu dari salah satu sisi lain—sisi yang mungkin tidak menarik.

Sebuah keanehan yang kasat mata adalah ketika Partai Nasdem menolak dikaitkan dengan Ormas Nasional Demokrat dan juga sebaliknya. Logika publik seakan hendak dijungkir-balikkan seperti logo mereka. Secara hukum ketidakterkaitan tersebut bisa jadi benar, tapi akan terlalu merendahkan jika menganggap akal sehat masyarakat dapat menerimanya begitu saja. Kedua organisasi tersebut sama saja seperti sebuah kemeja dan jas yang dijahit dan dikenakan oleh satu orang yang sama. Kenyataan itulah yang membuat Sri Sultan Hamengkubuwono X langsung hengkang dari Nasional Demokrat.

Namun sebenarnya hal tersebut tidak terlalu aneh juga dan bisa dimaklumi. Cara yang digunakan oleh arsitek di balik layar Nasional Demokrat dan Partai Nasdem itu sepertinya terinspirasi oleh Golkar pada zaman Orde Baru. Sejak awal berdiri hingga terdesak gelombang Reformasi, Golkar tidak pernah menyatakan dirinya sebagai partai politik. Pada masa itu hanya ada dua partai politik yang berhak ikut Pemilu yaitu PPP dan PDI, lalu ditambah oleh satu golongan—atau organisasi peserta Pemilu—yaitu Golongan Karya. Keengganan berterus-terang membentuk partai politik itu akibat anggapan bahwa cita-cita sebuah partai politik tidak sejujur dan seluhur sebuah organisasi massa biasa. Sekalipun anggapan itu benar, namun Golkar yang bukan partai politik pun ternyata bisa lebih buruk. Orde Baru yang ditopang seratus persen oleh Golkar dipenuhi oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang akibatnya masih bisa kita rasakan sampai detik ini.

Kemiripan itu juga bisa dilihat dari caranya menamakan diri. Nasional Demokrat kemudian menjadi Nasdem—para pendirinya tidak memilih singkatan semisal PND. Sama seperti Golongan Karya dengan Golkar. Agar jelas ketidakterkaitannya dengan Nasional Demokrat, maka Nasdem disebutkan sebagai sebuah nama atau merek tersendiri bukan singkatan. Dan tentu saja sebaliknya Nasional Demokrat menolak jika dikatakan Nasdem merupakan akronimnya. Apapun itu, siapa saja yang bercita-cita untuk mencerahkan bangsa dan meningkatkan pendidikan masyarakat seharusnya tidak justru berperilaku sebaliknya.

Seorang pengamat menyindir partai baru ini dengan mengatakan bahwa untuk melakukan perubahan seseorang harus memiliki otentisitas. Namun perubahan yang didengung-dengungkan oleh Nasional Demokrat bukanlah perubahan semacam Reformasi. Mereka menamakannya Restorasi Indonesia. Ia hendak dipadankan dengan Restorasi Meiji, perubahan politik dalam sejarah Jepang yang terkenal itu. Pemahaman sederhana tentang restorasi adalah pengembalian atau pemulihan suatu kondisi ke bentuk aslinya. Sebagai contoh, Restorasi Meiji itu—yang terjadi pada 1868—mengembalikan sistem kekuasaan kekaisaran dari tangan para panglima perang Shogun yang telah mengambil alih hegemoni kekuasaan selama berabad-abad.

Pertanyaannya kemudian apa yang hendak direstorasi oleh Nasdem? Jawabannya mudah, tidak mungkin hal yang jelek melainkan segala hal yang—menurut hemat mereka—baik pada masa lalu. Daftarnya bisa dibuat panjang. Salah satunya mengembalikan hegemoni kekuasaan eksekutif kepada Presiden. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Metro TV cenderung berpihak kepada Presiden SBY dalam persoalan pemberian grasi kepada Corby.

Intinya ialah mengembalikan “kejayaan” yang dicapai pada masa Orde Baru. Untuk tujuan tersebut maka pada setiap kesempatan pencapaian-pencapaian Reformasi sering didiskreditkan oleh media massa yang berafiliasi dengan Nasdem. KPK yang merupakan buah Reformasi yang bersinar sering pula ikut menjadi sasaran serangan. Maka tidak heran jika OC Kaligis setia bergabung di dalamnya. Jadi untuk melakukan Restorasi itu sepertinya tidak dibutuhkan otentisitas Reformasi.

Dan semakin hari, kita bisa menyaksikan stasiun tv berita swasta nasional Metro TV milik Surya Paloh bertransformasi menjadi TVRI zaman Orde Baru. Kita makin sering melihat pidato-pidato politik yang mencoba meniru gaya Soekarno dengan kualitas setingkat Soeharto. Dan jika pada masa itu TVRI sering hadir dengan program Laporan Khususnya, maka kini Metro TV merestorasinya dengan Special Report.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline