‘Di Korea saja ditolak apalagi di Indonesia’, demikian sebuah komentar singkat pembaca sebuah media online tentang kontroversi konser Lady Gaga di Indonesia. Tentu tidak persis sama peristiwa penolakannya di tanah air dengan di Korea Selatan itu. Salah satu contoh kecil, media barat menyebutkan bahwa di Korsel penolakan dilakukan oleh kelompok masyarakat konservatif sedangkan untuk peristiwa di Indonesia dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan garis keras.
Kontroversi Lady Gaga di Indonesia sudah campur-aduk. Ada pejabat yang ikut mendukung penolakan tersebut, ada yang menolak aksi penolakan itu, ada pula yang mendukung penolakan terhadap Lady Gaga tapi menuntut penolakan yang sama terhadap budaya dari timur-tengah masuk ke Indonesia –entah apa maksudnya. Berikutnya isu beralih kepada kecaman terhadap ormas anarkis. Semua itu sepertinya lebih bermuatan politik. Namun yang pasti, Lady Gaga sudah membikin kehebohan baru.
Para little monster di Indonesia tidak akan setuju dengan segala hal negatif yang ditujukan kepada ‘sang ibu monster’. It’s all about music. Lima puluh ribu calon penonton konser itu mungkin tidak memaknai bermacam-macam mengenai semua keganjilan yang dilakukan idolanya selama ini selain sebagai sebuah ekspresi seni musik dan pertunjukan. Wajar jika mereka tidak menerima pembatalan konser karena alasan pakaian minim, merusak moral, tidak sesuai budaya Indonesia maupun pemujaan setan. Lirik berbahasa Inggris Lady Gaga mungkin tidak terlalu merasuk ke dalam pikiran penggemarnya di Indonesia itu dibandingkan lirik ‘Cinta Satu Malam’ ataupun ‘Hamil Duluan’.
Anak-anak muda yang kemungkinan akan gagal melihat langsung idolanya itu sebaiknya mengajak dialog orang-orang tua yang menolak kedatangan Lady Gaga. Mungkin semacam negosiasi untuk mencari jalan tengah. Yang mengherankan isu yang sudah mulai bergulir cukup lama mengenai penolakan Lady Gaga sepertinya tidak ditanggapi serius oleh promotor pertunjukan.
Orang tua Melayu mana yang tidak terperanjat membaca informasi tentang Lady Gaga. Ia datang ke pesta mengenakan busana terbuat dari daging sapi. Ia menari-nari di atas panggung dengan sepotong bra dan celana dalam. Mata setiap ulama konservatif pasti terbelalak membaca berita tentang Lady Gaga memuja setan. Jika dirangkai dalam satu kalimat maka yang ada di benak mereka adalah seorang idola pemuja setan yang gemar menari-nari setengah telanjang dan kadang keluar memakai baju dari daging sapi. Sangat naif kalau kita menuduh orang-orang yang tak dapat menyetujui perilaku Lady Gaga tersebut sebagai ketinggalan zaman. Meminta mereka untuk tidak menilai seseorang hanya dari luarnya terhadap penampilan semacam itu akan terasa lucu.
Namun persoalan Lady Gaga rasanya tidak setipis persoalan Ahmadiyah, Irshad Manji atau persoalan sensitif lainnya. Banyak yang bisa didiskusikan mengenai musik dan segala budaya di seputarnya dengan pihak yang menolak –bukankah persoalan mode pakaian dan style pemuja setan bukan barang baru di industri musik barat? Apalagi jika Lady Gaga memang dapat bertoleransi terhadap keadaan di Indonesia. Seperti di Korea, konser Lady Gaga berlangsung dengan pembatasan penonton usia 18 tahun ke atas. Barangkali untuk di Indonesia dalam beberapa hal bisa dilakukan pembatasan yang lebih ketat sebagai jalan tengah. Mengharapkan pemerintah yang bernegosiasi sepertinya harus menunggu dua tahun lagi. Sedangkan berharap pemerintah bertindak keras menghentikan penolakan tersebut sama saja dengan mundur puluhan tahun ke belakang. Membiarkan muncul konflik di tanah air hanya karena Lady Gaga, tidak kalah ‘seronok’nya.
Cukup terkesima membaca The Korean Association of Church Communication berdemonstrasi menolak konser Lady Gaga di Korea, untuk mencegah merebaknya homoseksualitas dan pornografi. Umat Islam Indonesia tidak sendiri, ternyata tidak hanya ormas dan partai Islam serta lembaga adat di Indonesia saja yang peduli dengan persoalan tersebut. Kita tidak bisa menafikan isu ini hanya karena antipati terhadap sebuah ormas militan lalu menganggap Lady Gaga tanpa masalah.
Jika kita menyimak komentar-komentar pembaca situs The Sun mengenai pencekalan konser Lady Gaga di Indonesia, kita akan menemukan tidak sedikit dari mereka memaklumi penolakan tersebut, disamping –tentu saja– yang menghujatnya. Sebagian mereka memahami perbedaan nilai-nilai di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Lady Gaga dianggap keliru jika merasa bisa diterima di mana saja di seluruh dunia dengan segala kontroversi yang ia buat. Bahkan di Inggris pun tidak semua orang menyukai keanehannya. Kita bisa curiga bahwa sebenarnya banyak juga orang tua di Inggris yang menguatirkan dampak buruk dari trend Lady Gaga terhadap putri-putri mereka dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H