Lihat ke Halaman Asli

2016 Pertamina Kalahkan Petronas: Harga Diri Indonesia Telah Kembali

Diperbarui: 29 Januari 2017   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi pribadi

“Dulu di tahun 70an, Petronas Belajar ke Pertamina, kini Sang Guru harus belajar kepada Sang Murid, karena Petronas sudah mengalahkan Pertamina”, kalimat tersebut sering diucapkan oleh pengamat, kolunnis, wartawan, bahkan pejabat Indonesia. Yaa....betapa merana nasib Sang Guru, ketika Sang Murid sudah sebegitu maju bisnisnya, seolah-olah Sang Guru masih berkutat dengan masalah internal.

Bahkan ada pula cerita Seorang alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Ilen Kardania mengatakan, gaji perusahaan migas di Indonesia, seperti Pertamina lebih rendah dibandingkan perusahaan migas asing. "Kalau Petronas mau menggaji sampai Rp 500 juta per bulan, di sini kita tidak mampu. Nah Pertamina kan lebih besar dari Petronas. Iya dong," ungkap Ilen kepada detikfinance di kantor Kemenko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (6\/7\/2013, sebagaimana diberitakan detik.com).

Ya, melihat apa yang disampaikan llen diatas, bagaimana Pertamina lebih besar dari sisi aset dibandingkan Petronas, namun keuntungannya jauh lebih kecil, sehingga Petronas bisa menggaji pegawainya jauh lebih besar dibandingkan Pertamina. Ya...wajar jika anak bangsa lebih bangga bekerja di Petronas, karena pada tahun 2012, Petronas saat harga minyak dunia bertengger di atas angka US$ 100 per barrel Petronas setor ke kas negara Malaysia Rp 190 triliun sedangkan pada tahun yang sama Pertamina hanya setor ke negara Rp 7 triliun. Bedanya jauh banget 27 X lipat.....wowwww...amajing. Lebih amajing lagi setoraan Petronas ke APBN Malaysia mencapai 40% dari total APBN Malaysia, sedangkan setoran Pertamina hanya 1,6% dari total APBN Indonesia di tahun 2012. Bagaimana 118 BUMN Indonesi di tahun 2012 keuntungan total hanya Rp 128 triliun, kalah hanya dari 1 perusahaan Petronas.

Maka tidak salah, sempat pula publik berujar pada saat Medco gencar ekspansi ke negeri Magribi (Aljazair, Tunisia dll), Lebih baik Pertamina dijual saja ke Medco supaya lebih baik lagi pengelolaan bisnisnya.

Mengapa publik dan juga Pemerintah geram terhadap Pertamina, tentu wajar karena dengan aset yang superjumbo dan dijuluki BUMN terbesar di Indonesia, impian para anak bangsa untuk bekerja di Pertamina, namun kontribusi ke bangsa Indonesia sangat minim. Pertamina malah menjadi sapi perahan pihak-pihak lain yang selama ini menyusu ke Pertamina.

Lihatlah bagaimana Pertamina sangat tergantung dengan impor BBM. Yaa...dengan kapasitas kilang yang dimiliki hanya 800 ribu barrel kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barrel, lalu yang 600 ribu barrel dari mana?. Solusi paling mudah adalah impor BBM, maka Petral yang merupakan anak usaha Pertamina berubah menjadi lebih berkuasa dan strategis dibanding induknya Pertamina. Bagaimana 60% belanja Pertamina untuk impor BBM. Artinya Petral mengelolan 60% pengeluaran Pertamina. 

Petral yang duduk manis di Singapura, tidak punya aset mengendalikan 60% operasional Pertamina. Mari berhitung di tahun 2012 (saat harga minyak mentah dunia kisaran US$ 100), jika kebutuhan impor 400 ribu barrel/day x BBM impor rata2 US$ 140 x 365 hari x Rp 12.000 = Rp 245 triliun. Bagaimana tinggal duduk dibelakang meja proyek senilai Rp 245 triliun datang menghampiri. Itulah sosok Petral yang begitu menggerogoti Pertamina dan tidak memberikan kontribusi yang berarti. Jika impor 400.000 BBM/day x 365 day = 246.000.000 barrel, yang setara dengan 39,3 miliar liter. Setara dengan 39,3 miliar liter x 0,76 = 29,3 miliar kg atau 29,3 juta ton. Jika diangkut dengan kapal berukuran 50.000 DWT, membutuhkan 599 kapal.

Lalu siapa yang menikmati bisnis pelayaran, bisnis asuransi, bisnis jasa freight forwarding, LC perbankan dan lainnya. Jadi multiplier effect dinikmati oleh trader yang umumnya menggunakan kapal asing, asuransi asing, LC bank asing dan lainnya.  Misal tarif LC 0,125% (Bank Sinarmas) maka dengan impor senilai Rp 245 triliun maka perbankan akan menikmati jasa sebesar Rp 30,75 miliar.

Kilang minyak paling baru  terakhir dibangun tahun 1994 atau dibangun jaman Presiden Soeharto atau 23 tahun yang lalu. Sejak tahun 2014 Presiden sudah berganti 5 kali dari Habibie sampai Sby, Menteri BUMN sudah berganti berkali-kali, Dirut Pertamina sudah berganti berkali-kali tapi kilang minyak tidak bertambah. Indonesia makin banyak impor BBM. Mengapa Indonesia tidak bangun kilang minyak? Karena tidak punya uang, jualan BBM rugi IRR hanya 8%, resiko besar dan lainnya. Lebih enak impor, makanya sering diberitakan ada lingkaran istana, lingkaran menteri, lingkaran direksi Pertamina yang terlibat impor. Bahkan ada eks Direktur Pertamina Suroso Atmomartoyo yang dipenjara karena korupsi impor minyak.

Yang senang tiada kepalang adalah Singapura, negeri kecil yang tidak punyak minyak, tapi punya kilang minyak dengan kapasitas sekitar 1,4 juta barel dengan konsumsi dalam negeri Singapura hanya 150 ribu barrel, artinya Singapura harus mencari pasar ekspor sekitar 1,25 barrel agar kilang minyaknya tidak “menjadi besi tua”. Maka Indonesia dengan potensi pasar impor BBM sebesar 400 ribu barrel/day adalah potensial, sudah besar pasarnya dekat pula jaraknya sehingga biaya logistik menjadi murah. 

Eeitt......tunggu dulu, jika tahun 2025 nanti konsumsi BBM Indonesia bertambah menjadi sekitar 2,2 juta barrel dan kalau kapasitas kilang Pertamina tidak bertambah tetap 800 ribu barrel (tambah tua, tambah sering rusak, waktu operasi makin berkurang bisa produksi 700 ribu barrel di tahun 2025 sudah bagus). Maka Indonesia butuh 1,4 juta barrel BBM. Nahh...lho...Singapura yang awalnya harus ekspor jauh-jauh agar kelebihan 1,25 juta barrel terserap (Indonesia 400 ribu dan 825 ribu negara lain), maka 100% bisa diekspor ke Indonesia. Makin kaya tuch Singapura.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline