Lihat ke Halaman Asli

kemal razzan

@labscib

Mengenang Bhinnneka Tunggal Ika - Semboyan Persatuan

Diperbarui: 2 Februari 2025   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merayakan perbedaan itu semestinya harus dilakukan. Foto: MTV Wonder Showzen (2005)

Bhinneka Tunggal Ika, semboyan yang tertulis pada dasar negara Indonesia yaitu Pancasila, lebih tepatnya pada gambar lambang burung Garuda yang ditunjukan pada bagian kakinya dimana cakarnya memegang erat pita putih yang bertuliskan semboyan tersebut telah menjadi pondasi persatuan bangsa Indonesia. Kalimat yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" ini mengingatkan kita akan keberagaman suku, budaya, agama, dan adat istiadat yang ada di tanah air.  Dilansir dari indonesiabaik.id, Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku, 2.500 bahasa daerah, dan 6 agama yang berbeda. Keragaman yang begitu luasnya merupakan kekayaan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Bahkan, Indonesia ditunjuk sebagai rujukan untuk mengelola keberagaman oleh negara-negara peserta KTT Asia-Afrika. Namun, tantangan dalam menjaga persatuan semakin kompleks seiring berkembangnya zaman. Mulai dari konflik antarkelompok hingga masalah budaya yang dianggap mengganggu lingkungan sekitar yang sebelumnya tidak ada, semua ini menguji makna sejati dari Bhinneka Tunggal Ika. Maka, timbulah pertanyaan bagaimana kita dapat merenungkan kembali semboyan ini, mengidentifikasi masalah yang muncul, dan memikirkan serta mencari solusi terbaik untuk menjaga persatuan.

Keberagaman luas dan unik ini yang dimiliki oleh bangsa Indonesia seringkali menimbulkan gesekan, terutama ketika tradisi atau kebiasaan suatu suku dianggap mengganggu oleh kelompok lain. Misalnya, di Jawa Timur, ada tradisi musik horeg yang sering dilaksanakan oleh suku Jawa yang menetap di daerah perkampungan. Menurut detik.com, tradisi ini merupakan sebuah tradisi baru yang dikembangkan melalui akulturasi dari budaya penggunaan sound system dengan fungsi untuk takbiran saat Idul Adha dan Idul Fitri serta tren adu sound yang muncul pada akhir-akhir ini, menciptakan kombinasi antara sound system dengan lagu-lagu DJ Remix yang biasa digunakan dalam tren adu sound, tidak dapat dipungkiri bahwa polusi suara yang dihasilkan seringkali mengganggu kenyamanan warga sekitar. Apalagi dengan adanya pengakuan dari operator musik horeg dimana semakin keras lagunya dibunyikan, semakin hancur properti-properti di sekitarnya seperti kaca yang tidak tahan dikarenakan kuatnya gelombang bunyi yang dikeluarkan hingga jalan-jalan yang dirusak dikarenakan "menghalangi" jalannya budaya.

Di sisi lain, di Jawa Barat, "Gus" merupakan panggilan nama julukan atau nama panggilan untuk anak laki-laki. Gus juga digunakan untuk nama panggilan untuk ulama, kiai, anak lelaki putra kiai atau pemilik pesantren, dan orang yang dihormati. Muncul fenomena "Gus" zaman sekarang yang kerap menggunakan agama untuk kepentingan pribadi, seperti menjual agama demi popularitas atau keuntungan materi oleh oknum-oknum tertentu. Tidak dapat dipungkiri bila hal ini terus berlangsung, banyak pembodohan massal yang terus dilakukan pada masyarakat awam. Sudah terlalu banyak contohnya untuk bisa dinamakan. Hal ini tidak hanya merusak citra agama tetapi juga menciptakan polarisasi di masyarakat. Kedua contoh ini menunjukkan bagaimana keberagaman bisa menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik.

Jika masalah-masalah seperti ini tidak cepat segera ditangani, tidak mungkin kita akan menghadapi skenario ekstrem di masa depan. Misalnya, polusi suara dari tradisi musik horeg bisa memicu ketegangan antarkelompok, terutama jika warga sekitar merasa hak mereka diabaikan. Di sisi lain, eksploitasi agama oleh oknum tertentu bisa memicu perpecahan dan radikalisme, yang pada akhirnya mengancam persatuan bangsa. Bayangkan jika setiap suku atau kelompok hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok lain. Konflik horizontal akan semakin sering terjadi, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna.

Diperlukan upaya bersama dari semua pihak. Pertama, pemerintah dan tokoh masyarakat harus aktif melakukan sosialisasi tentang pentingnya toleransi dan saling menghargai perbedaan. Misalnya, dalam kasus musik horeg, bisa diadakan dialog antara orang-orang yang melakukan tradisi tersebut dengan warga sekitar untuk mencari solusi dimana kedua belah pihak saling menguntungkan, seperti mengatur waktu pelaksanaan atau mengurangi volume suara. Kedua, dalam menghadapi fenomena oknum-oknum berkedok sebagai"Gus" yang menjual agama, masyarakat perlu lebih kritis dan selektif dalam menerima informasi. Pendidikan agama yang inklusif dan moderat harus ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan agama dan citra dari agama itu sendiri. Selain itu, tokoh agama dan pemuka masyarakat harus turun tangan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai keagamaan.


Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan cerminan dari jiwa bangsa Indonesia yang majemuk namun tetap satu. Tantangan yang kita hadapi saat ini adalah ujian bagi kita semua. Namun, dengan semangat persatuan dan toleransi, kita dapat mengatasi segala perbedaan dan konflik. Mari kita jaga Bhinneka Tunggal Ika dengan saling menghargai, berdialog, dan mencari solusi bersama. "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." Persatuan adalah kunci untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline