PENDAHULUAN
Di tengah kemajuan zaman yang semakin cepat, karakter setiap orang tentu mengalami transformasi, bahkan penyimpangan. Salah satu perilaku yang masih sering dijumpai di kalangan remaja adalah tindakan agresif yang bisa mengarah pada kecenderungan untuk membully rekan mereka. Asal-usul kata 'bullying' berasal dari Bahasa Inggris, yang berasal dari kata 'bully' yang berarti banteng yang cenderung menyerang ke berbagai arah. Dari segi etimologi dalam Bahasa Indonesia, 'bully' memiliki makna mengancam atau orang yang senang mengganggu individu yang lebih lemah. Berdasarkan terminology definisi bullying menurut Ken Rigby (dalam Zakiyah dkk, 2017) merupakan suatu keinginan untuk menyakiti yang ditujukan ke dalam tindakan, sehingga membuat orang lain menderita. Perilaku ini seringkali terjadi secara spontan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan lebih, tidak bertanggung jawab, dan cenderung terjadi secara berulang, serta timbul kepuasan tersendiri saat melakukannya.
Banyak terjadi kasus bullying atau penindasan pada remaja secara kelompok maupun individu, bullying ini sangat berdampak besar pada kehidupan korban dan pelaku itu sendiri, kasus bullying meningkat selama 2023 Januari-Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak, bullying yang terjadi akhir-akhir ini telah menjadi masalah sosial yang meresahkan di masyarakat, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan para orang tua (Sekolah Relawan, 2024). Tindakan bullying dapat meliputi secara fisik maupun secara verbal, baik mengolok-olok hingga memberi hinaan dan ancaman. Bullying tidak langsung mencakup memberikan pandangan sinis, sikap tidak peduli, menyebarkan gosip, serta memerintahkan orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan namun juga tindakan seperti merusak atau mencuri barang milik orang lain, serta meminta uang secara paksa juga termasuk dalam kategori bullying (Dewi dkk, 2016).
Maraknya kasus bullying yang terjadi, tentu saja menjadi perhatian bagi semua pihak maupun kalangan untuk menimalisir kasus bullying baik secara pencegahan maupun penanggulangan. Carl Rogers seorang psikolog mengemukakan sebuah teori Solusi komunikasi untuk memahami pihak lain, dengan menciptakan situasi Dimana masing-masing pihak dapat memahami pihak lain dari sudut pandang pihak lain tersebut. Pendekatan Rogers bisa dikatakan normatif atau preskriptif, dimana sering disebut sebagai 'teori diri' dengan pendekatan yang dilakukan banyak membahas mengenai hubungan. Hal ini perlu diterapkan untuk semua kalangan baik para remaja secara khusus maupun kalangan luas secara umumnya. Dalam konteks psikologi fenomenologis Carl Rogers, pendekatan terhadap komunikasi di dalam dan di antara manusia menjadi penting dalam pemahaman kasus bullying remaja. Carl Rogers menekankan pentingnya empati, pemahaman yang mendalam, dan kesadaran diri dalam proses komunikasi.
PEMBAHASAN
Dalam kasus bullying remaja, terdapat dinamika komunikasi yang kompleks antara pelaku, korban, dan saksi. Pelaku mungkin memiliki kebutuhan untuk merasa kuat atau berkuasa, dan mereka mungkin menggunakan perilaku agresif sebagai cara untuk memperoleh pengakuan atau mengatasi ketidakamanan internal mereka. Di sisi lain, korban mungkin mengalami tekanan emosional yang signifikan dan merasa terisolasi atau tidak berdaya. Pemahaman fenomenologis juga mempertimbangkan perspektif individu dalam konteks komunikasi. Pelaku bullying mungkin memiliki pengalaman atau latar belakang yang memengaruhi persepsi dan interaksi mereka dengan orang lain. Demikian pula, korban mungkin memiliki pengalaman pribadi yang memengaruhi cara mereka menanggapi perilaku bullying.
1. Teori Diri dan Konsep Diri
DeVito (1997: 56) menegaskan bahwa dari semua komponen tindak komunikasi, yang paling penting adalah diri (self). Kemudian Kleinke (1978, dalam DeVito, 1997) berkesimpulan bahwa "kesadaran diri merupakan landasan bagi semua bentuk dan fungsi komunikasi". Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self-concept) dan pengalaman di satu sisi, serta interpretasinya mengenai stimulus lingkungan pada sisi yang lain (Sobur, 2013). Dalam teori kepribadian Carl Rogers, "diri" (self) adalah inti yang sangat penting. Ini mencakup semua ide, persepsi, nilai-nilai, dan pengalaman yang menggambarkan individu sebagai individu yang unik. Diri dalam pemahaman Rogers melibatkan kesadaran terhadap identitas diri, termasuk pemahaman tentang siapa diri kita (apa yang saya), apa yang kita rasakan, dan apa yang kita nilai (apa yang dapat saya lakukan).
Dalam konteks kasus bullying pada remaja, konsep diri menjadi sangat relevan. Bagi korban bullying, pengalaman merasa dikucilkan, dihina, atau disalahpahami dapat memengaruhi persepsi diri mereka secara negatif. Mereka mungkin merasa rendah diri, tidak berharga, atau tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Ini dapat mempengaruhi konsep diri mereka, menghasilkan kebingungan tentang identitas dan peran mereka dalam hubungan sosial.
Di sisi lain, bagi pelaku bullying, konsep diri juga dapat berperan. Mereka mungkin menggunakan perilaku agresif sebagai cara untuk memperkuat atau melindungi gambaran diri mereka sendiri di hadapan orang lain. Pelaku bullying mungkin merasa perlu untuk mendominasi atau mendapat pengakuan dari orang lain untuk memperkuat konsep diri mereka.
Dalam kedua kasus, pemahaman tentang diri dan bagaimana individu meresponsnya terhadap situasi bullying sangat penting. Terapi atau pendekatan lain yang berfokus pada pemahaman diri dan pengembangan konsep diri yang positif dapat membantu korban bullying untuk mendapatkan kembali rasa harga diri dan kepercayaan diri mereka, sementara juga membantu pelaku bullying untuk memahami dan mengelola emosi serta memperbaiki interaksi sosial mereka. Dengan memperkuat konsep diri yang positif, individu dapat lebih mampu menghadapi dan mengatasi tantangan sosial seperti bullying.