Konflik agraria terus menjadi tontonan pilu yang tidak kunjung berlalu. Solusi berupa reforma agraria tidak kunjung direalisasikan kendati telah dibentuk peraturan yang menegaskan urgensi dari reforma agraria tersebut. Keberhasilan negara lain mestinya mampu membuat kita berkaca dan memahami penyelesaian momok di negeri ini.
Oleh :
1. Rizky Murdiana (Awak Balairung UGM)
2. Safira Rizky Mayla Aziz (Awak Balairung UGM)
3. Kelvin Ramadhan H(Awak Balairung UGM)
4. Lukman Abdul Malik (Awak Balairung UGM)
Timpangnya kepemilikan tanah di Indonesia masih belum dapat diselesaikan oleh pemerintahan yang berkuasa hingga saat ini. Desakan solusi berupa reformasi agraria terus digaungkan oleh pihak-pihak yang peduli dengan permasalahan agraria. Reforma agraria sendiri didefinisikan sebagai legislasi yang diniatkan untuk meredistribusi kepemilikan, mewujudkan klaim atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum marjinal (miskin) dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa perundang-undangan (Lipton, 2009). Dengan kata lain, reforma agraria adalah upaya restrukturisasi kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang timpang melalui legislasi dan program yang terencana demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Reforma agraria bagi sejarah Indonesia mungkin merupakan utopia yang pernah dibawakan Soekarno. Dengan dibuatnya legislasi yang mengatur tentang kepemilikan tanah saat itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi tonggak angan kesejahteraan masyarakat kita. Meski masih berlaku, keberlanjutan reforma agraria di Indonesia tenggelam dalam agenda besar lain. Setelah semangat reforma agraria di masa Soekarno memudar, siapapun yang berkapasitas menuntaskan ketimpangan tanah seakan tutup mata dengan masalah dan manfaat keberhasilan reforma agraria serta lupa betapa hal ini merupakan kunci kemajuan ekonomi.
Perjalanan Reforma Agraria di Indonesia
Reforma agraria di Indonesia diperkenalkan oleh Presiden Soekarno 59 tahun silam, tepatnya 13 januari 1960. Soekarno percaya bahwa petani yang memiliki tanah sendiri akan menggarapnya dengan lebih intensif (Utrecht, 1969). Soekarno menganggap reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa kolonial dan feodalisme, sekaligus meletakkan fondasi ekonomi nasional. Adanya gelombang reforma agraria dilakukan berbagai negara yang baru saja merdeka dari jajahan negara kolonial juga turut mempengaruhi pemikiran Soekarno.