Setelah mendapatkan dana Rp55,8 triliun dari proses divestasi saham, Freeport-McMoRan akhirnya tak lagi menjadi pemegang saham mayoritas PT Freeport Indonesia. Namun, alih-alih dapat menikmati hasil alam sendiri malah kini penduduk di sekitar wilayah operasi Freeport harus menanggung limbah yang telah mengkotori sungai, ladang sagu, bahkan juga Laut Papua. Hasil audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2017 mengumumkan potensi kerugian lingkungan akibat limbah tersebut sebesar Rp185 triliun.
BPK mengatakan bahwa Freeport telah gagal mengendalikan limbah mereka yang dialirkan ke empat sungai besar di Papua sehingga ujungnya pun menodai muara Laut Arafaru yang menjadi hilir dari keempat sungai tersebut.
Modified Ajkwa Deposition Area atau ModADA menjadi salah satu bentuk kegagalan Freeport dalam mengelola limbahnya. ModADA sendiri adalah saluran penampungan limbah hasil pengelolaan emas Freeport yang berada di bantaran Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika.
Pemerintah telah mengizinkan pembangunan saluran tersebut yang hanya dipisahkan oleh tanggul dengan Sungai Akjwa. Akan tetapi, para auditor BPK menemukan adanya kebocoran tanggul yang membuat zat-zat berbahaya limbah pengelolaan emas Freeport merembes ke sungai dan akhirnya mengalir ke ladang sagu milik masyarakat
Dari hasil audit BPK itu, Kementerian Lingkungan Hidup meminta Freeport segera menyelesaikan urusan limbah .Aturan main pun diubah untuk membuat Freeport lebih prudent dalam mengelola limbahnya. Namun perubahan tersebut ditentang keras oleh Kepala Eksekutif Freeport-McMoRan Richard Anderson. Karena tak kunjung menemui titik temu, pemerintah akhirnya tak lagi menyoal kegagalan Freeport mengelola limbahnya dalam klausul divestasi saham.
Sejarah limbah Freeport
Awal mulanya, sekitar tahun 1995, Freeport mendapat izin membuang limbah ke Sungai Ajkwa dari pemerintah Provinsi Irian Jaya. Uniknya, Izin dari pemerintah keluar sebelum Freeport sempat menyertakan laporan teknis pengelolaan limbahnya. Belum beres dengan laporan teknisnya, Freeport mengajukan permintaan tambahan produksi dari 100 ribu ton per hari menjadi 300 ribu ton per hari setahun berikutnya. Dari 300 ribu ton itu, hanya tiga persen yang dapat diolah menjadi emas dan sisanya dibuang dalam bentuk limbah.
Tahun 2005, Freeport mendapat angin segar "lagi" dari keputusan pemerintah Kabupaten Mimika yang mengizinkan pembukaan area baru untuk penambangannya. Sejak itu, Freeport memakai anak Sungai Ajkwa sebagai tempat untuk mengalirkan limbahnya. Sayangnya setelah itu, keputusan pemerintah Kabupaten Mimika yang diwakili oleh Klemen TInai selaku Bupati mengalami kontradiktif dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan tersebut berisi tentang ketentuan baku mutu limbah sebelum dibuang ke sungai. Dengan tidak disertainya baku mutu ini, Freeport tak memiliki ambang batas zat-zat yang mereka buang.
Keberpihakan keputusan Bupati Kleman Tinal dapat dilihat dari rekam jejak sejarah beliau sebelum nejadi Bupati Mimika. Sebelumnya beliau merupakan politikus Golkar dan Kepala Administrasi PT Freeport Indonesia. Dan kini beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur Papua.
Tahun 2008, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Nomor 431 tentang pengelolaan limbah/tailing milik Freeport. Isinya mengandung batasan residu terlarut tailing sebesaar 9000 miligram per liter.
Angka tersebut masih 45 kali lebih besar dari ambang batas residu, yakni 200 miligram per liter yang diatur di dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 202 tahun 2004. Dari persoalan perbedaan ambang batas tersebut, BPK menuduh Kementerian Lingkungan Hidup tidak becus karena memberikan batas residu yang terlalu tinggi terhadap Freeport sehingga Sungai Ajkwa menjadi tercemar.