Nama : Kelvin Novandi
Topik : Cyberbullying & Etika
Artikel ini dimuat untuk memenuhi tugas UAS Filsafat Komunikasi Digital
Perkembangan teknologi dan internet yang semakin modern telah mengurangi batas-batas geografis dan membuat dunia terasa lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kemampuan manusia untuk saling berkomunikasi dan berbagi informasi dengan cepat dan mudah, bahkan dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Menurut laporan dari Napoleon Cat, jumlah pengguna Instagram di Indonesia mencapai 89,89 juta orang per januari 2024, menjadikannya salah satu dari empat negara dengan jumlah pengguna terbanyak di dunia. Namun, selain memberikan dampak positif bagi manusia, internet juga membawa dampak negatif, salah satunya adalah fenomena perundungan dunia maya atau cyberbullying.
Cyberbullying adalah fenomena di mana seseorang menjadi sasaran intimidasi, pelecehan, atau penghinaan secara online. Ini bisa terjadi melalui komentar yang tidak pantas, pesan pribadi yang mengancam, atau penyebaran informasi palsu atau memalukan tentang seseorang secara daring. Cyberbullying dapat memiliki dampak serius pada kesejahteraan mental dan emosional korban, bahkan dapat berujung pada masalah serius seperti depresi, kecemasan, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.
Fenomena cyberbullying ini masih dianggap sepele karena masih banyak masyarakat yang belum memahami cyberbullying dan dampaknya. Mengingat fenomena cyberbullying semakin marak terjadi di masyarakat termasuk Instagram, maka muncul sebuah muncul pertanyaan aksiologi yakni bagaimana fenomena cyberbullying terjadi di media sosial Instagram, dan seperti apa komunikasi yang tepat dalam menggunakan media sosial? dan cara terbaik menggunakan media sosial untuk mengatasi fenomena cyberbullying ini.
Dalam konteks etika filsafat komunikasi, sumber etika dapat berasal dari tradisi, agama, hukum hingga sosial. fonomena cyberbullying telah menjadi krisis yang mengancam integritas etika komunikasi warganet di media sosial. Dalam konteks ini, perspektif etika filsafat komunikasi dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang akar masalah ini, serta solusi yang mungkin untuk mengatasinya. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi fenomena cyberbullying melalui lensa etika yang bersumber dari tradisi, agama, hukum, dan sosial, untuk memahami dampaknya yang kompleks dalam konteks masyarakat modern.
1. Tradisi
Dalam tradisi komunikasi, nilai-nilai seperti kesopanan, empati, dan penghargaan terhadap sesama telah lama dijunjung tinggi. Nilai-nilai ini mencerminkan keyakinan bahwa komunikasi yang efektif memerlukan penghormatan dan perhatian terhadap individu lainnya. Namun, di era digital, batasan-batasan ini seringkali terabaikan. Cyberbullying menciptakan paradoks di mana teknologi yang seharusnya memperluas pemahaman dan kedekatan antarindividu malah digunakan sebagai alat untuk merendahkan dan menyakiti orang lain. Mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam komunikasi menjadi tantangan dalam masyarakat yang semakin terhubung secara digital.
2.Agama
Berbagai agama mengajarkan prinsip-prinsip kasih, belas kasih, dan pengampunan sebagai landasan dalam berinteraksi dengan sesama. Dalam konteks cyberbullying, agama menekankan pentingnya bertindak dengan baik terhadap sesama, bahkan dalam interaksi online. Cyberbullying, dengan sifatnya yang merusak dan memecah belah, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Oleh karena itu, pendekatan berbasis agama dapat mengingatkan warganet akan tanggung jawab moral mereka dalam menggunakan media sosial, serta mendorong mereka untuk berkomunikasi secara lebih bertanggung jawab dan hormat.