Di dalam sebuah kerajaan, rakyatnya akan menghubungkan pemimpin atau raja-raja mereka sebagai utusan dewa atau tuhan untuk melindungi kehidupan rakyatnya di dunia. Atas dasar itulah, penduduk sebuah kerajaan memandang raja adalah orang yang suci, begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan raja. Hingga alas kaki seorang raja pun mereka jadikan sesuatu yang suci atau sakral. Apalagi hal yang lebih besar dari sekedar alas kaki, yakni istana raja.
Pada zaman ini, yang masih kita kenal sebagai istana raja di tanah Jawa, sebagai ibu dari kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, ialah Keraton Jogjakarta beserta kelengkapannya, seperti alun-alun serta serta jalan Malioboro yang merupakan jalan raya seremonial yang membelah kota Jogja..
Dari sekian ratus tahun lalu hingga kini, masyarakat kita masih mewarisi budaya pendahulu, yakni menjadikan Keraton Jogjakarta dan area sekitarnya sebagai wilayah yang suci dan sakral. Pemikiran ini bahkan sudah menjadi “agama” tersendiri bagi sebagian besar penduduk Jawa, teruata penduduk Jogjakarta. Sesuatu yang suci patut untuk dijaga dan dilindungi.
Kita ambil sebuah perumpamaan. Penganut agama Islam, Kristiani, bahkan hingga agama Hindu dan Budha tentunya akan sangat marah bila ada orang lain yang memperolok atau menjelakan sebuah tempat yang sakral bagi mereka. bahkan bila perlu mereka rela untuk kehilangan nyawa demi melindungi bentuk dan sucinya nama dari tempat sakral tersebut. Sakral itu suci. Hal yang suci amat sangat berlawanan dengan sesuatu yang nista.
Untuk itu saya tidak heran mengapa pemberitaan beberapa hari ini yang mengusung tema penggusuran tempat-tempat prostitusi besar di Jakarta menyulut kemarahan dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang tidak lain ialah “Ratu Jogjakarta”. Selain sebagai seorang istri sultan, beliau juga merupakan Wakil Ketua DPD RI. Kemarahan beliau bukanlah tidak mendasar dan tidak beralasan. Pasalnya, nama tempat yang disucikan atau disakralkan oleh penduduk Jogjakarta dijadikan sebagai salah satu nama tempat prostitusi terbesar di Jakarta dan sekarang sedang mendapat sorotan media nasional. Nama itu ialah Malioboro.
Malioboro menjadi sakral bagi penduduk Jogjakarta karena disanalah sultan seringkali mengadakan upacara-upacara tertentu. Sementara di Jakarta, Malioboro dijadikan nama bagi tempat yang nista, sarang pelacuran.
Pada rabu kemarin, GKR Hemas mengeluarkan pernyataan resmi bahwa beliau mewakili seluruh warga Jogja akan menggugat sang pemilik, yang juga merupakan bos klub malam Stadium, untuk mengganti nama yang sakral bagi penduduk Jogjakarta tersebut. Ia menyatakan ini demi menjaga nama baik ikon Jogja yang telah bertaha sekian lama. Beliau juga menekankan bahwa dalam berbisnis dan mencari popularitas pun jangan sembarang dalam memberi nama. Apalagi untuk bisnis kotor seperti prostitusi.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H