Lihat ke Halaman Asli

Kelvin DwiAtyra

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Sejarah G-30 S/PKI dalam Perspektif Sosiologi Komunikasi

Diperbarui: 15 Juli 2024   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, Indonesia menyaksikan salah satu tragedi paling kelam dalam sejarahnya, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30 S-PKI). Peristiwa ini mengakibatkan terbunuhnya enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat. Meskipun hingga saat ini masih banyak misteri dan kontroversi seputar siapa yang sebenarnya berada di balik kejadian ini, dampaknya telah membentuk sejarah Indonesia secara signifikan. 

Dengan menggunakan perspektif sosiologi komunikasi, kita dapat memahami bagaimana media, propaganda, dan komunikasi memainkan peran penting dalam membentuk narasi, mempengaruhi opini publik, serta melegitimasi kekuasaan setelah peristiwa G-30 S-PKI.

Pada malam 30 September 1965, sekelompok orang yang mengaku sebagai bagian dari PKI menculik dan membunuh enam jenderal serta satu perwira Angkatan Darat dari rumah mereka. Jenazah mereka ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta. Keesokan harinya, Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), segera mengambil alih komando militer dan menuduh PKI sebagai dalang utama di balik peristiwa tersebut. Dalam waktu singkat, operasi besar-besaran dilancarkan untuk membasmi komunisme dari Indonesia.

Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution adalah salah satu tokoh militer terkemuka dalam sejarah Indonesia yang turut menyaksikan dan terlibat dalam peristiwa tragis G-30 S-PKI pada tahun 1965. Pemikirannya yang mendalam tentang kekuatan militer, politik, dan sosial membuatnya menjadi saksi penting dalam perjalanan Indonesia pasca-kemerdekaan. 

Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution, atau yang akrab disapa AH Nasution, lahir pada 3 Desember 1918 di Sumedang, Jawa Barat. Karir militer dan intelektualnya membanggakan, mulai dari perjuangan melawan penjajahan Belanda hingga kepemimpinannya dalam militer Indonesia. Ia dikenal sebagai pemikir strategis yang mengembangkan doktrin militer Indonesia serta aktif dalam pembangunan sosial-politik negara. 

Peristiwa G-30 S-PKI terjadi pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965. Sejumlah anggota yang mengaku dari PKI menculik dan membunuh enam jenderal serta satu perwira Angkatan Darat Indonesia dari rumah mereka. Salah satu jenderal yang menjadi korban adalah Jenderal Ahmad Yani, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat. Nasution sendiri selamat dari upaya penculikan, meskipun rumahnya juga menjadi sasaran. 

Sebagai Panglima Angkatan Darat pada saat peristiwa G-30 S-PKI, Nasution adalah salah satu tokoh kunci yang terlibat dalam menanggapi kekacauan nasional yang terjadi. Keberanian dan keputusannya untuk memimpin upaya menstabilkan situasi setelah penculikan para jenderal merupakan bukti dari kepemimpinan militernya yang tangguh.

Selama beberapa bulan berikutnya, ratusan ribu orang yang dicurigai sebagai simpatisan PKI dibunuh atau dipenjara. Propaganda anti-komunis tersebar luas, mengakibatkan kehancuran PKI yang sebelumnya merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia.

Setelah peristiwa G-30 S-PKI, media massa di Indonesia, yang berada di bawah kendali kuat pemerintah Orde Baru, memainkan peran penting dalam membentuk narasi resmi mengenai kejadian ini. Pemerintah memanfaatkan media cetak, radio, dan televisi untuk menyebarkan pandangan bahwa PKI adalah ancaman besar yang berusaha menggulingkan pemerintahan dan mengambil alih kekuasaan negara. Salah satu alat propaganda yang paling terkenal adalah film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Film ini ditayangkan setiap tahun pada tanggal 30 September hingga 1998, dengan tujuan memperkuat ingatan kolektif masyarakat tentang ancaman PKI.

Dalam perspektif sosiologi komunikasi, fenomena ini dikenal sebagai penggunaan media untuk menciptakan hegemoni, di mana kelompok dominan (pemerintah Orde Baru) menggunakan media untuk mengendalikan narasi dan memastikan bahwa versi mereka tentang peristiwa tersebut diterima sebagai kebenaran oleh publik.

Dalam konteks G-30 S-PKI, pemerintah Orde Baru menggunakan media untuk mengarahkan perhatian publik pada ancaman yang ditimbulkan oleh PKI, sehingga membenarkan tindakan represif yang mereka ambil. Dengan terus menerus menyoroti bahaya komunisme, pemerintah berhasil membentuk opini publik yang mendukung tindakan mereka untuk mengeliminasi PKI. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline