Usia remaja merupakan usia yang rawan dan rentan khususnya dalam pergaulan. Diikuti dengan kemajuan teknologi yang juga memicu luasnya pergaulan. Pada masa kini, pergaulan bebas menjadi bahaya utama yang dihadapi usia kalangan remaja. Tak hanya itu, pergaulan bebas juga menimbulkan kekhawatiran para orang tua.
Usia remaja yang labil memang sangat mudah "dibodohi" pergaulan. Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, menurut WHO (Badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan usia remaja 12 sampai 18 tahun. Bisa dikatakan itu masa putih abu-abu yang pikirannya masih labil dan ingin selalu mencoba hal baru.
Seperti yang sedang viral baru-baru ini Video asusila guru dan siswi di Kabupaten Gorontalo, yang viral di media sosial X, Instagram, hingga TikTok, dimana seorang anak remaja kelas 12 SMA yang masih di bawah umur yang dimanfaatkan oleh gurunya sendiri dengan alih mengayomi, membantu, dan memberikan perhatian lebih terhadap korban yang bersangkutan, karena korban seorang anak yatim piatu dimana ia merasa mendapatkan figur ayah dari tersangka DH (57).
Kasus ini sungguh miris, ya. Video asusila yang melibatkan guru dan siswi di Gorontalo ini lagi ramai dibicarakan di media sosial. Kok bisa, sih, seorang guru tega memanfaatkan anak didiknya yang masih di bawah umur? Apalagi korbannya yatim piatu, jadi merasa dekat dengan guru tersebut karena dianggap seperti figur ayah.
Situasi ini dengan jelas menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan dan pengawasan dalam fungsi pengasuhan keluarga terhadap anak usia remaja. Dalam konteks pengasuhan keluarga, salah satu aspek yang sangat krusial adalah fungsi afeksi. Dalam sebuah keluarga, diperlukan adanya kehangatan, rasa kasih sayang, dan perhatian yang tulus antar anggota keluarga. Hal ini bukan hanya sekadar kebutuhan emosional, tetapi juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk berpikir dan bermoral yang memerlukan hubungan sosial yang sehat dan mendukung.
Ketika anak tidak atau kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang memadai dari orang tua atau anggota keluarga lainnya, hal ini dapat menyebabkan mereka menjadi sulit untuk dikendalikan, berperilaku nakal, dan berisiko terlibat dalam perilaku negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Situasi ini dapat diperparah oleh faktor-faktor eksternal seperti lingkungan pergaulan yang tidak sehat dan pengaruh negatif dari teman sebaya.
Begitu pula yang terjadi pada siswi berinisial PP, yang merupakan korban dalam kasus tersebut. Sebagai seorang yatim piatu, ia tidak mendapatkan peran orang tua yang seharusnya dapat memberikan bimbingan, dukungan emosional, dan kasih sayang yang diperlukan untuk tumbuh kembangnya. Tanpa adanya figur orang tua yang dapat memberikan arahan dan perhatian yang konsisten, PP (korban) berpotensi kehilangan pegangan moral dan emosionalnya, sehingga membuatnya lebih rentan terhadap pengaruh negatif dari luar. Keterlibatan aktif keluarga dalam memberikan afeksi dan perhatian sangat penting untuk membantu remaja agar dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik dan menghindari perilaku yang merugikan.
Kasus ini mengingatkan kita, pentingnya peran keluarga dalam mendidik anak remaja. Orang tua harus selalu ada buat anak-anaknya, kasih perhatian, kasih sayang, dan kasih kehangatan. Kalau anak kurang kasih sayang, bisa jadi mereka gampang terpengaruh hal-hal negatif. Kayak kasus ini, si siswi jadi gampang dimanfaatkan karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H