Lebih dari setahun semenjak COVID-19 pandemi merebak, laporan terbaru UNICEF menyampaikan bahwa 80 juta anak dan remaja di Indonesia menghadapi dampak sekunder yang meluas dari pandemi, yaitu terhadap pembelajaran, kesehatan, gizi, dan ketahanan ekonomi mereka.
Pandemi dinyatakan menghambat pendidikan jutaan pelajar, membatasi akses penting ke layanan kesehatan, gizi, dan perlindungan, serta menyebabkan keluarga-keluarga harus berjuang keras untuk mempertahankan kondisi keuangannya. Pandemi juga memperparah ketimpangan yang sudah ada, khususnya yang terkait dengan gender, kemiskinan, dan disabilitas, dan hal ini akan berdampak signifikan terhadap perkembangan anak.
Melihat angka kemiskinan meningkat, mayoritas sekolah masih ditutup, dan banyak layanan esensial belum tersedia kembali, kita harus memprioritaskan investasi yang berorientasi kepada kebutuhan anak dan yang mengedepankan pemulihan yang inklusif serta upaya mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk mengantisipasi krisis lain di masa mendatang.
Menurut laporan tersebut, tiga dari empat rumah tangga di Indonesia mengalami penurunan pendapatan selama pandemi, dengan rumah tangga perkotaan mengalami dampak yang lebih signifikan. Pada saat bersamaan, hampir seperempat rumah tangga mengalami kenaikan biaya hidup, sehingga risiko ketahanan pangan turut meningkat.
Dalam hal jam belajar, dengan lebih dari separuh juta sekolah dari seluruh jenjang---PAUD hingga universitas---ditutup, rata-rata durasi pembelajaran jarak jauh di Indonesia bervariasi antara hanya 2,2 dan 3,5 jam per hari. Penutupan sekolah juga meningkatkan risiko anak putus sekolah. Anak-anak di luar sekolah pun menjadi lebih rentan terhadap praktik perkawinan usia anak ataupun praktik lain yang merugikan dan bersifat eksploitasi anak.
Selain itu, perubahan rutinitas sehari-hari akibat pandemi juga berdampak terhadap kesehatan mental dan emosional anak dan remaja. Hampir separuh rumah tangga melaporkan anak mengalami tantangan perilaku, seperti sulit berkonsentrasi (45 persen), mudah marah (13 persen), dan sulit tidur (6,5 persen).
Akses dan kepatuhan terhadap praktik air, sanitasi, dan kebersihan dasar yang baik juga masih terbatas di daerah-daerah dengan risiko penularan yang tinggi, seperti sekolah dan fasilitas kesehatan. Akibatnya, anak dan kelompok rentan lebih berisiko tertular COVID-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H