Lihat ke Halaman Asli

Rumah Mungil di Ujung Jalan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sosok berjubah putih mendatangiku "Kau ditunggu."
"Siapa?"
"Ikut saja, kau akan tahu. Dia yang selama ini kau cari-cari."

Melangkah canggung, kuikuti sosok itu.
Melewati jalan setapak dengan bunga-bunga kecil di kanan kirinya.

Rumah mungil berdinding putih.
Genteng berwarna merah hati menaunginya.
Kami masuk ke sana.
Hati semakin harap cemas.

"Dia di kamar, temuilah"
Seperti dihipnotis kakiku melangkah menuju satu-satunya kamar di rumah itu.

Di sana kudapati sesosok tubuh kecil duduk terkulai di kursi kayu.
Dadanya berlubang.
Jantung dan paru-parunya terpampang kerontang.
Terinfeksi terkena debu udara.

Tangan-tangan dan kakinya mengkerut dengan jemari yang saling meremas satu sama lain.
Badannya penuh gores cakaran.
Seperti orang sakau yang selalu merasa kesakitan di sekujur tubuhnya tapi tidak tahu bagaimana menghilangkan sakit itu.

Kulit kepala yang tampak di balik rambut tipisnya, penuh kudis.
Tak tahu lagi membedakan nanah mana yang mengalir dari kulit kepala atau dari telinganya.
Pipinya penuh bandar-bandar kecil, seakan terkikis air yang selalu mengalir dari mata bundar sayu itu.

Tapi bibir itu.
Senyum sumringah itu.
Kepadaku.
Seakan-akan aku malaikat penyelamat yang dapat membentuk ulang seluruh bagian tubuhnya.

Terenyuh kudekati ia.
Selangkah demi selangkah, kemudian berlutut menjejeri tingginya.
Ia menggapai memelukku.
Aroma tubuhnya wangi.
Sangat wangi.
Membuat air mataku mengalir tak henti.

"Aku nuranimu," bisiknya mesra.

Jambi
2 September 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline