Lihat ke Halaman Asli

Hari ke-805; Aksi Kamisan

Diperbarui: 17 Februari 2024   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://id.pinterest.com/pin/334040497366976456/

Aku terdiam, termenung, muram, dan tak berekspresi sejak mengetahui sesaknya menjadi seorang Ibu yang menunggu kepulangan sang anak. Aku tertegun di depan cermin, mengenakan pakaian serba hitam dan di tanganku ada satu payung berwarna hitam yang aku rasa ia sedang menangis dalam diam. 

Ia memintaku agar segera beranjak ke depan istana negara untuk menyaksikan pergolakan massa  dari tahun 2007 hingga 2024 yang masih setia berdiri, menuntut, serta menunggu seseorang untuk memberikan jawaban dari pertanyaan yang tidak berubah sedikit pun makna dan tujuannya. Sampai akhirnya aku mendengar suara teriakan yang bergetar, "Kenapa penderitaan ini tidak berujung?".

Teriknya cahaya matahari sore tidak mematahkan kaki seorang Ibu yang sudah keriput kulitnya, memutih rambutnya tanda waktu tua telah datang, dan hancur lebur hatinya. Ia masih berdiri tegak, meskipun rasa yang ada di dalam hatinya sudah membeku. Ia masih kuat memegang sebuah payung hitam yang umurnya sudah memasuki hari ke-805. 

Ingin sekali aku bertanya kepadanya, "Apakah tidak lelah, Bu?". Namun itu adalah pertanyaan yang sia-sia dan retoris sebab tanpa ditanya seperti itu pun, jawaban sudah jelas terlihat di depan mata. Aku ingin pulang, hatiku sudah gentar, tak kuat menyaksikan sakitnya menjadi seorang Ibu dan beberapa dari mereka yang menantikan kalimat jawaban perihal ke mana perginya sang anak yang sengaja mereka culik dan pada akhirnya dihilangkan.

Waktu sebelumnya, aku melihat buku-buku yang berserakan di kamarku. Mereka terlihat gagah, meskipun ada ketakutan yang bersembunyi. Mereka terlihat tegar dengan segala isi yang tidak akan pernah hilang, sekali pun dirampas oleh manusia-manusia yang takut akan tulisan. Satu dari mereka bersuara, "Terima kasih sudah mau mengetahui kami, mengetahui sejarah kelam yang selamanya akan dibungkam, memahami perasaan mereka yang dipaksa untuk tenggelam, serta menjaga sejarah yang tidak tertulis". Aku tertegun, lagi. Seperti aku memahami sebuah kutipan dari buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang diincar peredarannya karena dianggap cacat dan menakutkan oleh pemerintahan 1998 dulu, Orde Baru.

"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya" .

Sampai detik sekarang, bahkan selamanya, aku berharap aksi kamisan ini tidak berhenti sampai datangnya hari yang ditunggu-tunggu meskipun angin enggan memeluk mereka, jawaban datang dengan lantang mengalir hingga ke nadi keluarga korban, tuntutan demi tuntutan agar demokrasi berjalan dengan baik kembali didengarkan oleh penguasa, dan tidak ada lagi perampasan hak asasi manusia. Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi mereka, keluarga yang ditinggalkan tanpa jejak melihat orang yang sangat ingin dituntut duduk di kursi kekuasaan tertinggi, tetapi aku paham alasan mereka menjadi pribadi seperti itu.

Kepada mereka yang menunggu keajaiban dari pertanyaan yang dilangitkan, semoga Tuhan terus ikut menuntut, melihat, memeluk, dan membersamai selamanya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan nanti, tetapi yang pasti, kejahatan akan kalah dengan kebaikan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline