Ringkasan Eksekutif
* Ekonomi Sektor Publik di Provinsi Lampung memiliki potensi yang besar dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
* Meskipun sudah terdapat program "Satu Data Lampung" yang menyediakan akses terbuka terhadap data pemerintah daerah. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung secara rutin menerbitkan publikasi tahunan seperti "Provinsi Lampung dalam Angka" dalam implementasinya, masih terdapat beberapa kendala seperti rendahnya transparansi, lemahnya akuntabilitas, dan pengawasan yang terbatas telah menghambat efektivitas pengelolaan keuangan daerah, dan kehilangan kepercayaan oleh masyarakat
* Diperlukan kebijakan baru mengenai reformasi manajemen pengelolaan anggaran sebagai bentuk strategi menyelesaikan permasalahan dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Lampung
Pendahuluan
Provinsi Lampung, terletak di ujung selatan Pulau Sumatera, memiliki luas wilayah sekitar 33.575,41 km. Menurut estimasi pertengahan tahun 2023, Lampung dihuni oleh sekitar 9.313.990 jiwa, dengan komposisi penduduk yang beragam, termasuk suku Lampung asli serta pendatang dari Jawa, Madura, dan Bali. Ibu kota provinsi ini adalah Bandar Lampung. Secara ekonomi, Lampung memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal sebesar Rp414,1 triliun pada tahun 2022, menempatkannya di peringkat ke-11 secara nasional. PDRB per kapita mencapai Rp45,1 juta, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,28% pada tahun yang sama. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung tercatat sebesar 0,7317, yang dikategorikan sebagai tinggi dan menempatkannya di peringkat ke-26 di Indonesia (Nurhadianto dan Khamisah 2019). Provinsi Lampung sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi ekonomi yang besar, menghadapi tantangan dalam pengelolaan anggaran daerah. Ekonomi Sektor Publik memiliki peran sentral dalam memastikan distribusi sumber daya yang adil, pembangunan infrastruktur yang memadai, serta penyediaan layanan publik yang berkualitas. Namun, beberapa kendala seperti rendahnya transparansi, lemahnya akuntabilitas, dan pengawasan yang terbatas telah menghambat efektivitas pengelolaan keuangan daerah (Wulandari, 2023). Reformasi manajemen anggaran daerah bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel guna meningkatkan kepercayaan publik serta mendorong pembangunan ekonomi. Pendekatan ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta, serta pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses anggaran. Kebijakan ini relevan untuk menjawab tantangan era digital dan tuntutan masyarakat yang semakin kritis terhadap pengelolaan anggaran publik.
Deskripsi Masalah
Salah satu masalah utama dalam pengelolaan anggaran daerah di Lampung adalah minimnya transparansi. Berdasarkan Open Budget Indexs (OBI) pada tahun 2016 tingkat transparansi pengelolaan keuangan daerah di Lampung masuk ke dalam tingkatan keterbukaan yang tidak cukup transparan (insufficient) dan termasuk ke dalam kategori sedikit (scant or none) (Nurhadianto dan Khamisah 2019).
Informasi terkait alokasi anggaran, pelaksanaan program dan hasil akhirnya sering kali tidak mudah diakses oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik terhadap integritas pemerintah daerah. Berdasarkan data dari Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, banyak daerah termasuk Lampung, belum sepenuhnya menerapkan prinsip keterbukaan informasi.
Provinsi Lampung menduduki posisi nomor 4 dari bawah. Rendahnya transparansi ini juga berdampak pada lemahnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan anggaran. Partisipasi publik sangat penting untuk memastikan anggaran mencerminkan kebutuhan masyarakat. Tanpa keterlibatan masyarakat, risiko alokasi anggaran yang tidak efisien dan tidak relevan dengan kebutuhan lokal semakin tinggi (Ritonga, 2016).
Selain masalah terkait rendahnya transparansi, kurangnya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan juga terjadi di Provinsi Lampung. Akuntabilitas mengacu pada tanggung jawab pemerintah daerah untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan anggaran kepada masyarakat. Namun, di Lampung, laporan keuangan daerah sering kali tidak disajikan secara jelas dan rinci. Selain itu, terdapat kasus-kasur penyalahgunaan anggaran yang mencoreng citra pemerintah daerah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan keuangan daerah, seperti pelaporan yang tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintah dan penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk Kota Bandar Lampung sendiri dari tahun 2019 hingga 2022 menunjukkan penuruan kualitas laporan keuangan (Faadhillah, 2024). Kondisi ini menunjukkan perlunya penguatan sistem audit internal dan eksternal untuk memastikan pengelolaan anggaran yang lebih akuntabel.
Pengelolaan anggaran yang efektif memerlukan SDM yang kompeten dan berintegritas. Di Lampung, terdapat tantangan dalam meningkatkan kapasitas aparatur sipil negara (ASN) di bidang keuangan. Banyak ASN yang belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam menggunakan teknologi pengelolaan anggaran modern. Selain itu, budaya kerja yang kurang mendukung reformasi sering kali menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan. Perubahan sistem dan prosedur sering kali menghadapi resistensi dari ASN yang sudah terbiasa dengan cara kerja konvensional.
Pemanfaatan teknologi digital dalam pengelolaan anggaran masih belum optimal di Lampung. Padahal, teknologi dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses pengelolaan keuangan daerah. Sistem informasi keuangan daerah (SIKD) yang ada sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal, baik karena keterbatasan infrastruktur maupun rendahnya pemahaman pengguna. Digitalisasi pengelolaan anggaran juga menghadapi tantangan dalam hal keamanan data dan integrasi sistem. Banyak pemerintah daerah yang masih mengandalkan proses manual, sehingga rentan terhadap kesalahan dan penyelewengan (Putri, 2024).
Ketimpangan dalam alokasi anggaran antara wilayah perkantoran dan pedesaan di Lampung juga menjadi masalah yang signifikan. Wilayah pedesaan sering kali mendapatkan porsi anggaran yang lebih kecil, meskipun memiliki kebutuhan yang mendesak untuk pembangunan infrastruktur dasar dan layanan publik. Ketimpangan ini mencerminkan kurangnya analisis kebutuhan yang komprehensif dalam proses perencanaan anggaran. Akibatnya, banyak wilayah yang tertinggal dalam pembangunan, sehingga memperlebar kesenjangan sosial dan eknomi antarwilayah di Lampung.
Hambatan regulasi dan kebijakan juga menjadi permasalahan. Regulasi dan kebijakan yang ada sering kali tidak mendukung reformasi pengelolaan anggaran daerah. Banyak peraturan yang tumpang tindih atau tidak sesuai dengan kondisi lokal. Selain itu, implementasi kebijakan sering kali terhambat oleh birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antarinstansi. Reformasi regulasi diperlukan untuk menciptakan kerangka kerja yang lebih fleksibel dan responsive terhadap kebutuhan daerah. Hal ini mencakup penyederhanaan prosedur administrasi, penguatan pengawasan, dan peningkatan intensif bagi pemerintah daerah yang berhasil mengelola anggaran dengan baik (Christiaens, 2015).
Sering kali, terdapat kesenjangan yang signifikan antara rencana anggaran dan realisasinya. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Banyak program yang tidak berjalan sesuai rencana, baik karena kurangnya koordinasi antarinstansi maupun keterlambatan dalam pencairan dana. Kesenjangan ini juga mencerminkan kurangnya monitoring dan evaluasi yang efektif selama proses implementasi anggaran. Akibatnya, tujuan-tujuan pembangunan yang telah direncanakan tidak tercapai secara optimal.
Masalah-masalah yang terjadi sangat berdampak pada kepercayaan publik, terutama pada rendahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah. Masalah tersebut membawa konsekuensi serius terhadap tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah. Ketika masyarakat merasakan kurangnya keterbukaan dalam alokasi dan realisasi anggaran, mereka cenderung mempertanyakan tujuan dan efektivitas program-program yang dilaksanakan. Selain itu, mekanisme pengaduan masyarakat terhadap dugaan penyimpangan anggaran sering kali tidak efektif. Pengawasan oleh masyarakat merupakan elemen penting dalam menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Namun, di Lampung, partsipasi masyarakat dalam mengawasi pengelolaan anggaran daerah masih rendah. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses informasi, rendahnya kesadaran masyarakat, dan keterbatasan platform pengawasan. Banyan laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti secara memadai, sehingga menurunkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan. Hal ini memunculkan skeptisisme terhadap niat pemerintah dalam menggunakan dana publik, yang seharusnya diorientasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Ketidakpercayaan ini tidak hanya bersifat individual, tetapi dapat berkembang menjadi fenomena kolektif yang merusak hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat mulai merasa bahwa kebijakan yang diambil kurang memperhatikan kebutuhan mereka, yang berujung pada pengurangan dukungan terhadap berbagai inisiatif pemerintah. Sebagai contoh, program pembangunan infrastruktur atau layanan sosial yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup masyarakat bisa saja dipandang sebagai proyek yang hanya menguntungkan pihak tertentu.
Lebih jauh lagi, penurunan kepercayaan publik ini dapat berdampak pada stabilitas sosial dan politik di daerah. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pengelolaan anggaran berpotensi menciptakan keresahan sosial yang mengganggu harmoni dalam komunitas. Selain itu, krisis kepercayaan ini juga menghambar upaya pemerintah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah. Ketika kepercayaan terhadap pemerintah rendah, masyarakat enggan berkontribusi atau bahkan menolak berbagai program pemerintahm baik melalui partisipasi langsung maupun pembayaran pajak. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas merupakan kunci penting dalam membangun kepercayaan publik. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan komunikatif, seperti menyediakan laporan keuangan yang mudah diakses serta melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dipulihkan, sehingga mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan yang berkelanjutan (Putri, 2024).
Penutup
Dalam upaya menciptakan pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel, reformasi manajemen anggaran menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Meskipun dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan angaran daerah, Pemerintah Provinsi Lampung telah meluncurkan portal "Satu Data Lampung" yang menyediakan akses terbuka terhadap data pemerintah daerah. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung secara rutin menerbitkan publikasi tahunan seperti "Provinsi Lampung dalam Angka" yang memuat berbagai data statistic Pemerintah daerah harus menunjukkan komitmen kuat memberdayakan sumber daya manusia yang kompeten. Selain itu, partisipasi masyarakat harus didorong melalui keterbukaan informasi dan platform pengawasan yang efektif. Reformasi manajemen anggaran daerah di Provinsi Lampung merupakan langkah strategis untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik. Melalui reformasi ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah akan meningkat, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Lampung.
Rekomendasi
1. Memperkuat Implementasi Sistem Informasi Keuangan Daerah yang Terintegrasi
2. Penguatan Kapasitas Aparatur Daerah