Lihat ke Halaman Asli

Macet, Macet dan Macet

Diperbarui: 29 Juni 2016   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi warga Jakarta, ibukota negara, persoalan kemacetan sudah terasa sangat biasa. Dihadapi di dalam keseharian, sama halnya seperti makan dan tidur. Waktu yang dihabiskan ketika terjerat kemacetan parah bisa jadi lebih lama ketimbang waktu tidur. Di hari-hari kerja, yakni Senin-Jumat, mungkin sekitar 50 persen waktu produktif pekerja ibukota dihabiskan dijalan. “kalau gak tahan macet, jangan tinggal di Jakarta”,kalimat yang menyiratkan, macet dan Jakarta ibarat dua sisi dalam satu koin yang sama. Hingga kini jika kita tanyakan, “apa masalah utama Jakarta?”, penulis yakin 99 persen warga ibukota, akan serentak seirama menjawab, “Macet!”.

Seiring berjalannya waktu, macet ditenggarai bukan lagi masalah warga ibukota saja. Pasalnya, gejala kemacetan, perlahan namun pasti mulai terjadi di daerah-daerah lain. Kemacetan total kini dapat dengan mudah dijumpai di lalu lintas kota-kota besar Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar dan Bali. Memang untuk beberapa daerah tingkat kepadatannya belum separah dan sekronis Jakarta. Akan tetapi, bila tidak dibenahi secara serius, ancaman stagnansi lalu-lintas di daerah secara pasti ‘mengejar Jakarta’.

Memang benar bahwa, dalam konteks tertentu, kondisi kemacetan lalu-lintas membawa kabar baik. Menjadi indikasi atas meningkatnya pendapatan masyarakat. Kenaikan pendapatan inilah yang kemudian memicu masyarakat selaku konsumen untuk bertindak konsumtif. Yang salah satunya, dengan membeli kendaraan atau alat transportasi pribadi.

Sekalipun begitu, kemacetan juga membawa kabar buruk. Ia menyebabkan inefesiensi. Bayangkan saja jarak yang harusnya dapat ditempuh dalam beberapa menit, karena macet waktunya bisa molor hingga satu sampai dua jam perjalanan. Pengalaman ini pasti pernah kita rasakan. Penulis sendiri pernah mengalami, yakni menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam untuk jarak yang sebenarnya bisa ditempuh hanya dalam 15 menit. Itu membuat inefesiensi meningkat. 

Selain inefesiensi dari sisi waktu tempuh, inefesinsi juga terjadi dalam bentuk borosnya penggunaan bahan bakar, meningkatnya biaya transportasi dan harga barang. Dampak lain yang juga criticaladalah terkait kesehatan masyarakat yang berpotensi terganggu mengingat masifnya dampak polusi udara dan kebisingan yang ditimbulkannya.

Tidak berhenti pada aspek teknis dan medis, kemacetan juga berdampak kultural. Seringkali, ketika melintas di jalan, kita melihat terjadinya konflik antarpengendara karena saling berebut lajur. Padatnya lalu-lintas meningkatkan kemungkinan timbulnya gesekan itu. Akibatnya, di jalanan yang padat, hubungan antaranggota masyarakat tak lagi harmonis. Penulis sendiri pernah melihat langsung, konflik antarpengguna jalan tol bahkan melibatkan senjata tajam – yakni, pedang samurai. 

Kemacetan pada akhirnya membuat banyak pengendara jadi abai terhadap aturan. Pengabaian hal-hal kecil, seperti melanggar lampu merah karena diburu waktu kerja, dan sikap “masa bodoh orang lain, yang penting gue”, yang dilatih tiap hari di jalanan, dalam jangka panjang, bisa bereskalasi dan mewujud pada diabaikannya aturan-aturan yang sifatnya lebih besar dan mendasar. Setelah dipikir-pikir, kemacetan didapati lebih banyak membawa kabar buruk daripada karbar baik. Tak heran jika kemudian banyak wacana yang berkembang, apakah itu yang berasal dari pemerintah, ahli tata kota, maupun masyarakat biasa, tentang cara bagaimana agar persoalan kemacetan ini segera dituntaskan.

Volume Capacity Ratio (VCR)     

Dalam membahas kemacetan, salah satu konsep penting yang patut diperhatikan adalah volume capacity ratio atau VCR. Konsep ini, adalah ukuran atas kepadatan lalu-lintas, yang membandingkan antara volume kendaraan yang melintas dengan kapasitas ruas jalan. Hasilnya didapati kalau nilai VCR di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, lebih tinggi dari 0.8, yang artinya kondisi lalu lintasnya sangat padat. Ukuran normal biasanya berkisar 0.5 sampai 0.7.

Tingginya angka VCR  ini, sebagaimana yang disebut oleh Kemenhub, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh membumbungnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor di tiap daerah yang ada di Indonesia. Sementara, panjang jalan, meski bertambah, pertumbuhannya tidak proporsional terhadap laju pertumbuhan kendaraan yang masif. 

Penambahan satu faktor secara signifikan (kendaraan), yang tak diikuti oleh penambahan faktor lainnya secara proporsional (panjang ruas jalan), berdasar prinsipthe law of  diminishing return, akan berdampak pada turunnya daya dukung satu faktor – yakni, jalan – yang jumlahnya cenderung tetap terhadap faktor lain – yakni, kendaraan. Maka, jika sudah begini, kemacetan dan padatnya lalu-lintas adalah konsekuensi wajar yang tak terhindarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline