Lihat ke Halaman Asli

Kefas Prajna Christiawan

Undergraduate Economics Student at Gadjah Mada University (UGM)

Di Balik Budaya Sadar Diri Jepang, Pesan Penting Terhadap Institusi dan Media di Indonesia

Diperbarui: 20 Juli 2023   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Edi Wahyono (Detik News)

Oleh: Kefas Prajna Christiawan

Belakangan ini kita dihebohkan dengan adanya berita penangkapan Johnny G Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia, yang beberapa waktu terakhir menuai berbagai kontroversial, seperti ide search engine yang tidak rasional, membuat provider games, kegagalan menjaga sistem informasi, dan berbagai hal lainya.  Korupsi Kominfo yang ditaksir sebesar 8 sekian triliun rupiah ini membuat adanya bermacam-macam respon publik, partai politik, media, dan subjek lainya. Namun, pada tulisan kali ini saya tidak akan fokus membahas korupsi Jhony Plate karena sepertinya ada hal lain yang lebih menarik dan penting untuk dibahas, demi integritas pemimpin atau orang besar di negara kita.

Ketika mengerjakan tugas ekonomika kelembagaan, mata kuliah (matkul) yang diampu langsung Prof. Lincolin Arsyad penggagas ekonomika kelembagaan di Indonesia, saya ditugaskan untuk mencari studi kasus mengenai efek budaya terhadap performa ekonomi. Tentunya karena ini adalah kelas kelembagaan, saya mencoba mencari hubungan antara budaya, lembaga, dan ekonomi. Pada akhirnya setelah membaca beberapa sumber, saya memilih kasus negara Jepang sebagai bahan bahasan yang nantinya akan dipresentasikan di kelas. Setelah itu saya merasa ada suatu hal menarik yang dapat saya bagikan kepada publik, maka saya menulis tulisan ini, sehingga tulisan ini murni pemikiran saya sendiri dan tidak berkaitan dengan tugas kuliah apapun.

Membahas budaya dan ekonomi Jepang. kita menduga atau berpikir bahwa Jepang memiliki budaya yang baik dalam hal integritas, kepemimpinan, beretika, dan hal lainya. Faktanya memang betul, sering kali kita melihat berita bahwa pejabat-pejabat Jepang yang tidak berintegritas atau korupsi sujud meminta maaf dan beberapa memilih untuk mengakhiri hidup karena tindakan kriminal yang telah dilakukan. Hal ini terlihat berbeda di negara +62 atau Indonesia, ketika pejabat atau pemimpin ditangkap atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mereka sibuk mencari alasan atau gimmick agar mereka diringankan hukumannya, tidak disalahkan, dan dimaklumi oleh publik.

Etika Bisnis Jepang dan Sejarah di baliknya

Namun, ternyata ada hal menarik dibalik budaya Jepang. Bercerita sedikit tentang dari segi historis, salah satu budaya yang ditekankan adalah “etika bisnis”, yaitu adanya kode etik norma bagi perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Sebuah paper karya Nishikawa dan Kimura (2016), membahas mengenai institusi dan budaya. Jepang  disebutkan sebagai negara yang tidak secara ekstrem menganut salah satu budaya Barat atau Timur. Selain itu, berbeda dengan beberapa negara lainya, Jepang tidak didominasi oleh nilai Budha atau Konfusianisme (Konghucu) seperti negara China atau Thailand. Maka, paper tersebut menyebutkan adanya 2 periode yang membentuk budaya Jepang. 

Pada Periode Edo (1603-1868) terdapat pendeta Zen Priest Shosan Suzuki yang membuat buku etika “Banmin-Tokuyou” yang membahas mengenai asal muasal etika bekerja masyarakat Jepang berdasarkan ajaran Budha dan asketisme (meninggalkan hidup bersifat duniawi dan materi untuk mencapai keselamatan). Pertengahan periode tersebut Baigan Ishida berdasarkan ajaran neo-konfusianisme menekankan pentingnya kontribusi sosial melalui aktivitas bisnis pada bukunya “Tohi-Mondo”. Berlanjut pada Periode Meiji (1868-1912), Eiichi Shibusawa membuat buku “Rongo-To-Soroban” yang menekankan pentingnya meraih keuntungan atau profit dan beretika, serta perlunya kontribusi sosial melalui profit tersebut. Hal ini dilandasi oleh nilai konfusianisme. 

Apa itu Institusi (Lembaga)?

Namun, bahasan berikutnya yang tak kalah menarik adalah bagaimana institusi berperan dalam proses amplifikasi dan inklusivitas budaya etika bisnis tersebut. Sebelumnya saya ingin menjelaskan bahwa arti dari Institusi adalah suatu aturan main atau sistem terhadap suatu masyarakat yang bersifat membatasi dan menciptakan insentif pada perilaku manusia, tentunya terhadap perubahan struktur politik, sosial, dan budaya. Maka, konstitusi tidak mengacu pada suatu organisasi atau komunitas, tetapi lebih kepada suatu sistem yang memiliki tujuan mengurangi ketidakpastian. 

Perluasan Etika Bisnis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline