Lihat ke Halaman Asli

Iman Suligi

pensiunan guru

Sumpah Pemuda Jilid Dua

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hormat untuk almarhum  Bapak Hamid Jabbar yang telah mencanangkan Proklamasi Jilid Dua lewat puisi. Sebuah restropeksi yang mengungkapkan keprihatinan dan harapan bagi Indonesia Masa Depan. Para seniman mempunyai caranya sendiri untuk mengungkap kecintaan dan dedikasinya kepada bangsa. Kalau terasa getir itu karena mereka jujur dan tak ingin manipulasi semata untuk pencitraan diri sebagaimana banyak dilakukan para politisi. Dengan menulis MAJOI ( Malu Aku Jadi Orang Indonesia) pak Taufiq justru mengharapkan terwujudnya bangsa yang jujur dan tidak munafik. Sementara orang mungkin menganggapnya sebagai sikap tidak patriotik, justru itulah sikap jujur yang tulus.

Ditengah carut marut yang membelit kehidupan berbangsa, perlu juga dicanangkan Sumpah Pemuda Jilid Kedua. Tidak dengan ritual atau seremonial atau slogan dangkal tanpa makna. Tidak pula dengan program formal yang sekedar menghamburkan dana. Harapan yang sesungguhnya tertumpu pada gerenerasi muda, bagaimana cara efektif mewujudkannya. Agar kebesaran bangsa ini membuat mereka bangga dan merasa wajib menjaganya.

Usul saya sederhana. mengapa tidak membuat film dokumenter yang menjadi ensiklopedia keragaman Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Dari Miangas sampai Rote. Tentang profil fisik, warna kulit, pakaian dan makanan yang secara tradisional dikonsumsi. Tentang tempat tinggal maupun kuburan. Tentang lagu maupun umpatan, tentang bahasa dan keyakinan, tentang kelahiran, maupun kematian, tentang apa saja yang mencerminkan kebinatunggal ikaan. Sebuah ensiklopedi visual tentang tanah air dengan segala yang terpendam, tentang hutan yang asli dan dirusakkan, tentang reboisasi dan pembalakan. Tentang ikan yang beraneka ragam warna, tentang dedaunan dan bunga bunga. Tentang berbagai tuturan dan dialek yang jumlahnya ratusan.

Agar tidak dimanja dengan keindahan dan terlena oleh kehebatan, ensiklopedia visual ini juga harus secara eksplisit mengungkap berbagai kecurangan, kejahatan, kemunafikan agar menjadi cermin dan pelajaran. dan cukuplah ini nati menjadi referensi bagi pendidikan karakter yang nampaknya berhenti semata tuntutan formal.

Tak apalah jika proyek ini menelan triliunan rupiah untuk membuat cd bagi semua sekolah dan lembaga di luar sekolah. Toh kita ini bangsa kaya yang ternyata pajaknya banyak diselewengkan. Sementara museum, dan tempat semacam itu tidak menarik banyak kalangan. Banyak tokoh kemampuan bahasa nasionalnya memprihatinkan. Patriotismenya cuma kaget-kagetan.  Dan kebangsaan yang belum meluhurkan harkat budaya dan kemanusiaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline