Lihat ke Halaman Asli

Iman Suligi

pensiunan guru

Warkatpos, Bendapos yang Tak Lagi Dikenal

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bentuknya praktis cuma selembar kertas ukuran A4. Bagian muka dicetak sisi alamat tujuan dengan bingkai strip miring merah biru di satu sisi sementara di sisi lain alamat si pengirim. Isi surat di tulis di bagian baliknya, kemudian dilipat dan ditempeli prangko. Persis seperti ngirim kuesioner Kompas. Bahkan kalau mau, kita bisa bikin warkatpos sendiri. Anehnya, pada zamannya warkatpos meski ada juga penggunanya namun kurang favorit. Ada semacam salah kaprah disini bahwa mengirim surat ke orang yang lebih tua pakai kartupos atau warkatpos kurang sopan. Apakah itu penyebabnya, saya tidak tahu. Berbeda dengan di negeri lain, warkatpos digemari dan disainnya juga beraneka ragam. Nampaknya minat berkirim surat di kalangan masyarakat kita tidak sebagus bangsa lain seperti Amerika, Eropa, dan lain-lain. Kita lihat saja di film, sering terlihat tumpukan amplop di depan pintu, atau tempelan memo pada bulletin board di kantor atau kamar kerja. Yah, mungkin benar bahwa disini lebih berkembang budaya lisan ketimbang budaya tulis. Kembali tentang warkatpos, saya punya kenangan tersendiri. Sekitar tahun 1995 saya mencoba mengirim proposal ke kantor Pos setempat untuk penyelenggaraan lomba menulis surat.  Saya mengamati bahwa nampaknya warkatpos kurang laku di masyarakat, jadi seandainya saya menumpang kondisi itu untuk lomba tersebut Kantor Pos pasti setuju. Ternyata dugaan saya betul, dan memang masih banyak stok warkatpos yang tidak lagu di beberapa kantor pos. Segera saja proposal saya diterima dan segala macam supportpun diberikan. Tema yang saya buat adalah Surat Kepada Walikota. Alhamdulillah walikota menyambut dengan antusias bahkan menyediakan waktu untuk merespons surat yang masuk selama seminggu lewat RRI. Sungguh menarik acara ini, bahkan diantara peserta ada yang mengirim surat dengan huruf braille yang sekarang masih saya simpan. Akhir dari lomba adalah pemajangan kurang lebih tigaribu surat yang masuk di alun-alun kota. Sayang saat itu belum ada MURI ya. Kembali soal warkatpos dan kantorpos. Disaat fungsi kantor pos telah demikian rupa tersaingi dengan perkembangan TI, menurut saya kantor pos masih mempunyai tempat di hati masyarakat. Ada hal lain yang mungkin bisa dijual kepada publik pengguna jasa disamping membayar rekenening dan angsuran kredit kendaraan bermotor. Bagaimana kalau Kantor pos menjual Romantisme lewat jasanya?  Bagaimana pula itu? Ya, cobalah renungkan dan semoga mendapat inspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline