Habis pacaran, arahnya ke mana sih?
Saya pribadi ketika sebelum akhirnya memutuskan pacaran, saya tanyakan kepada suami saya "kapan mau nikah?". Biar nggak php. Malas patah hati. He he. Dan kenapa mau menikah? Banyak alasannya, salah satunya karena ingin punya keturunan.
Masalah punya anak ini pun tidak saya tunda setelah menikah. Bahkan, sebelum menikah saya sudah mempersiapkan kehamilan dengan makan makanan bergizi, mengurangi kopi, dan minum asupan asam folat. Apa sudah siap secara materil? Insyaallah siap. Bukan karena gaji yang cukup. Namun lebih karena pengalaman hidup memberikan pelajaran bahwa manusia, termasuk anak kita nanti, punya rezeki masing-masing. "Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, lalu ia menentukan takdirnya, lalu Ia menuntun jalar keluarnya" ('Abasa : 18 - 19)
Takut belum siap secara batin? Wah, kalau ini sih memang sedang saya persiapkan, sambil berjalan.
Namun, ternyata, banyak tantangan diluar dua ketakutan umum itu yang tidak saya duga-duga setela test pack menunjukkan garis dua dan setelah hasil USG memperlihatkan adanya janin di rahim saya (alhamdulillah..)
Pertama, di usia kehamilan yang menyentuh dua bulan, saya susah sekali mau makan apa-apa. Kalau kotak makan sudah dibuka (saya pakai catering di kantor), rasanya tidak tahan untuk tidak mengekspresikan rasa mual. Kan, jadi tidak enak dengan bude yang masak. Nanti dikira makanannya ga enak.
Atau, kalau ada rekan kantor yang pakai parfum wangi sekali, atau bahkan nggak pakai parfum. Aduh, saya bingung lah harus bagaimana bersikap. Alhasil, saya akali dengan memberikan parfum favorit di kerudung. Jadi kalau mencium bau aneh, langsung saya kebaskan kerudung saya. Dan yang kedua, bawa permen.
Lalu, susah mau tidur! Punggung rasanya sakit sekali. Mau terlentang, kok rasanya si kakak (dedek bayinya maksudnya) ngga bisa nafas. Mau menghadap ke suami di sebelah kiri, kok rasanya si kakak terjepit oleh perut. Alhasil, saya jadi lebih sering memunggungi suami dengan menghadap ke kanan. Huhu, maaf ya suami.
Dan yang paling parah, sensitifnya minta ampuuun. Rasanya sering mau marah-marah. Kalau sudah mau marah, tapi merasa tahu kalau tidak perlu marah, akhirnya hanya bisa menangis. Teman semeja saya lama-lama jadi maklum kalau mata saya sudah memerah dan berair.
Tiga bawaan si bayi ini mungkin hanya tiga dari seribu satu rasa menjadi calon Ibu. Untuk saya pribadi, yang paling membuat saya tenang ketika tiga hal itu menyerang adalah kehadiran suami, setidaknya via kabar di chatting, telfon, atau video call (suami saya bekerja di lapangan, jadi agak sulit bertemu dalam waktu yang lama).
Jadi, untuk para calon Ibu yang sedang merasakan hal yang sama, semangat ya! Jadi terasa perjuangan ibu kita dulu ketika mengandung kita. Luar biasa. Dan nggak usah banyak mengeluh ya, calon bunda, karena hampir semua ibu mengalami hal serupa. Mungkin ini saatnya kita menahan ego dan belajar lebih bersabar. Kalau masih di dalam kandungan saja kita tidak bisa melawan ego kita sendiri, bagaimana nanti kita bisa sabar membesarkan anak-anak?