Hari ini di media social Facebook khususnya di grup Suara Flotim tengah ramai membicakan kisruh antara DPRD dan Pemerintah Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT. Konon katanya kedua lembaga ini bersitegang karena pengurangan jam kerja tenaga kontrak akibat refocusing dan realokasi yang berdampak pada pengurangan DAU pasca Pandemi Covid 19. Dari sisi pemerintah melalui Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Flores Timur, Abdul Razak menuding DPRD punya kontribusi besar terhadap membludaknya tenaga kontrak yang ada hingga menelan APBD Rp 34 Miliar per tahunnya itu. (baca: ini)
sedang di sisi lain DPRD melalui ketua DPRD, Robertus Rebon Kereta berkilah bahwa seharusnya pengurangan itu dilakukan saat APBD awal dan bukan baru sekarang (baca: ini).
Banyak komentar warga net perihal kisruh ini dan bagi saya adalah sebuah hal yang wajar apalagi ini berkaitan dengan dua lembaga Negara yang punya peranan penting dalam proses pembangunan sebuah daerah. Saking urgennya kedua lembaga ini, keduanya kerap disebut teman berbeda nasib bahkan Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik berani menyebut tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas Trias Politika memang hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi dalam pelaksanaannya badan eksekutif leluasa sekali ruang geraknya (2007:295). Hal ini tentu menarik untuk ditelaah lebih jauh tidak semata soal perbedaan pandangan kedua lembaga ini tetapi lebih dari itu bagaimana cara agar kedua lembaga ini bisa kembali akur ditengah ruwetnya pembangunan Flores Timur pasca bencana banjir bandang beberapa waktu lalu.
Persoalan tenaga kontrak sendiri bukan barang baru dan tidak hanya terjadi di Flores Timur saja tapi hampir di semua wilayah di Indonesia. Masalah cukup klasik dan sebagai orang yang pernah menjadi tenaga kontrak, saya harus mengamini pernyataan Asisten I sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan bahwa DPRD juga punya andil juga dalam perekrutan tenaga kontrak.
Banyak tenaga kontrak yang direkrut selama ini nyatanya adalah kolega DPRD sendiri bahkan diantaranya punya hubungan darah dengan mereka. Hal ini tentu dipahami, sebagai teman seperjuangan yang berbeda tugas, DPRD mendapat tempat khusus dalam perencanaan pembangunan daerah. Tanpa mereka mustahil ada yang namanya anggaran, peraturan termasuk program dan kegiatan pemerintah. Bak senapan, DPRD adalah peluru yang sangat dibutuhkan untuk melengkapi senapan tersebut.
Namun sialnya di titik ini, pemerintah juga seolah lupa kalau mereka juga berlaku sama. Bahkan lupanya mereka, hematnya saya masuk kategori cukup akut karena harus melupakan realita kalau system perekrutan tenaga kontrak sendiri merupakan kewenangannya. Pemerintahlah yang membuat analisis kebutuhan tenaga kontrak di pemerintahan untuk kemudian disetujui DPRD yang disesuaikan dengan anggaran yang ada. Itu belum termasuk realita ada juga pejabat yang terpaksa memasukkan koleganya dalam lingkaran tenaga kontrak. Kondisi ini cukup memprihatinkan memang, namun kembali sebagai sebagai masyarakat biasa kita harus dipaksa untuk mengerti apalagi kecenderungan manusia tidak bisa sendiri tanpa orang lain walaupun harus mengorbankan manusia lainnya.
Kekisruhan ini jelas menunjukkan adanya ketimpangan peran masing-masing lembaga. DPRD tidak lagi jadi pengontrol kerja pemerintah lagi. Dia seolah hadir sebagai pelengkap trias politikanya Motesquieu. Sedang pemerintah cenderung lemah dalam pengambilan keputusannya sendiri bahkan harus mengangkangi keputusannya sendiri. Hal ini tentu sangat disesalkan bahkan dianggap blunder yang kudu harus diselesaikan.
Pertikaian kedua lembaga ini menambah deretan luka buat masyarakat yang saat ini sedang mengharapkan pembangunan yang lebih nyata dan berkelanjutan untuk mencapai bonum commune. Tontonan semacam ini bagi saya sudah basi dan tidak enak lagi ditonton lagi. Bukan karena pemerannya sudah berganti tapi endingnya itu yang kudu sama dengan dengan kebanyakan sinetron Indonesia yang alurnya terus berputar di ranah itu tanpa tahu kapan berakhirnya. Lalu pertanyaannya? Dari pertikaian ini siapa yang diuntungkan? J
awabannya tentu beragam sesuai perspektif masing-masing kita dalam melihat kasus ini. Kalau disuruh memilih maka saya dengan tegas akan memilih buntung sebagai pemenangnya karena buntung selalu identik dengan kerugian dan tidak sempurna. Begitupun kedua lembaga ini akan terus merasa dirugikan dan kalah tanpa mengakui siapa yang salah. Semoga ributnya berhenti secepatnya karena kami sudah tidak sabar mau menonton tayangan lain yang lebih berkelas ketimbang menonton drama tanpa akhir ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H