Lihat ke Halaman Asli

Sarjana Pelopor Desa di Persimpangan Jalan

Diperbarui: 15 Januari 2021   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah dipilih dan dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya, dr. Kornelius Kodi Mete dan Marthen Christian Taka langsung tancap gas untuk bekerja. Tidak hanya bekerja untuk memajukan daerah dengan program unggulan mereka 7 jembatan emas saja tetapi juga melakukan perubahan di tubuh birokrasi. Namun demikian hal itu bukanlah menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, karena focus penulis adalah menelaah lebih jauh soal keberadaan sarjana pelopor desa yang belakangan ini menjadi perbincangan banyak pihak termasuk Wakil Ketua DPRD SBD, Haji Samsi Pua Golo.

Haji Samsi secara lugas menegaskan perlu ada evaluasi buat sarjana pelopor desa yang dipandangnya belum bekerja optimal dilapangan dengan beragam alasan. Bak disambar petir, beberapa sarjana pelopor desa pun secara massif balik membela diri dengan alasan yang cukup masuk diakal. Namun mereka sedang lupa bahwa evaluasi itu diperlukan sebagai bagian dari dari tanggung jawab atas sebuah program yang telah dicanangkan dan dijalankan sekaligus memberikan penilaian atas kinerja kerja yang sudah dijalankan.

Dengan kata lain evaluasi diperlukan untuk melihat secara detail kekurangan dan kelebihan dari program tersebut dan bukan semata untuk melakukan restrukturisasi terhadap postur anggota sarjana pelopor yang berjumlah 5 orang setiap desanya. Lalu apa yang salah dengan 5 sarjana pelopor desa sehingga perlu dievaluasi?

Jawabannya tentu beragam namun penulis akan memulai dengan realita yang kini dihadapi dimana banyak kepala desa di Sumba Barat Daya yang dilaporkan warga akibat penyalagunaan dana desa dan penyalagunaan dana bantuan langsung tunai bahkan satu diantaranya sudah mendekam di balik jeruji besi. Keberadaan sarjana pelopor diawal diharapkan bisa mitra pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan berintegritas dengan ilmu yang dimiliki.

Tidak hanya itu, sarjana pelopor juga diharapkan bisa mengontrol kerja aparat desa sehingga tidak terjebak dalam praktik KKN sebagaimana yang ditakutkan banyak pihak karena praktik KKN sesungguhnya sudah terjadi sejak penyusunan RAPDes. Dengan ketidaktahuan kepala desa, kepala desa kudu dimanfaatkan oknum tertentu. Imbasnya pembagunan di desa selama ini terkesan berjalan di tempat bahkan ada beberapa yang mundur ke belakang.

Padahal jika ditelaah secara kasat mata, Sumba Barat Daya memiliki beragam potensi mulai dari alamnya hingga budayanya yang jika dikembangkan baik oleh desa maka akan memberikan dampak yang sangat signifikan untuk perkembangan desa itu sendiri. Namun harapan itu hanyalah sekedar harapan, belum ada dampak yang cukup terasa dengan keberadaan sarjana pelopor desa hingga saat ini. Beberapa diantaranya secara lugas mengakui fenomena ini. Bahkan menyebut kendala ini disebabkan belum adanya sinkronisasi antara sarjana dengan aparat di desa.

Sikap apatis aparat desa disinyalir membuat sarjana pelopor desa ogah mengeluarkan kemampuan terbaiknya selama beberapa bulan terakhir ini. tidak hanya itu, pandangan terhadap sarjana pelopor desa yang hadir sebagai pengganggu kestabilan pembangunan di desa juga disinyalir menjadi alasan kuat kurang diterimanya mereka di tengah aparat. Hal ini terkesan wajar adanya.

Pasalnya, dengan sumber daya manusia yang mumpuni sarjana pelopor desa bisa menjadi kompor bagi masyarakat desa untuk melawan kebijakan yang bersinggungan dengan aturan yang ada. Humm...stigma negative itu nyatannya sudah muncul pasca adanya program ini. belum lagi, kebingungan para sarjana pelopor desa soal kerja mereka di desa yang hemat penulis hampir mirip dengan pendamping desa, pendamping local desa dan sejumlah lembaga lainnya di desa. Bedanya kata mereka hanya di pelaporan. Para sarjana diwajibkan memberikan laporan harian tentang perkembangan di desa secara berkala setiap harinya, termasuk laporan soal potensi yang ada di desa. Bahkan beberapa sarjana secara terbuka mengungkapkan bahwa mereka juga diminta pihak desa untuk mengumpulkan data penduduk dan data lainnya di desa yang mirip dengan kegiatan mahasiswa/I saat KKN. Miris bukan?

Sudah begitu apakah realita semacam ini perlu didiamkan sementara para sarjana sendiri dibiayai dari APBD II. Seingat penulis untuk mengakomodir mereka, pemerintah daerah bahkan mengalokasikan anggaran hingga 7 M lebih. itupun harus melalui proses yang panjang sampai harus baku adu argument dengan Legislatif. Sudah begitu, masihkah kita mempertahankan para sarjana kita tidak perlu dievaluasi? Ataukah menyalahkan mereka yang kritis menyebut bahwa ada yang keliru dengan program ini sehingga perlu dibenahi?

Saya ingat pesan sobat saya, Teman yang baik adalah mereka yang berani menyampaikan kebenaran walaupun itu sakit daripada ciuman seorang pengkhianat yang menyembunyikan keburukan untuk menjaga persahabatan yang ada. Selamat menikmati tulisan ini sembari menelaah kembali realitas yang ada. Kita butuh perubahan untuk menjadi baik, dan para sarjana pun demikian. Jangan sampai orang berseloroh keberadaan para sarjana hanya bentuk balas jasa politik semata tanpa ada andil untuk pembangunan daerah khususnya di daerah pedesaan. Mari Berharap dan Mulailah Berbenah sebelum semuanya menjadi terlambat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline