Lihat ke Halaman Asli

Politik Identitas, Bukti Masih Kuatnya Perbedaan di NTT

Diperbarui: 7 Maret 2018   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: kabarhukum.com

Hingar bingar perpolitikan jelang pilgub semakin kental terasa dengan hadirnya putra-putri terbaik NTT. Sebut saja, Esthon Foenay-Christian Rotok, Marianus Sae-Emi Nomleni, Beni K. Harman-Beny Litelnoni, dan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi yang belakangan telah menjadi sentral pembicaraan publik NTT khususnya. Jika sebelumnya ada calon yang maju dari jalur independen sebagai pembedanya maka kini semua calon seolah-olah ogah mengikuti jalur tersebut. 

Selain karena aturan yang menghendaki paslon mengantongi 272 ribu KTP yang menyebar merata di 12 kabupaten/kota dari 22  kabupaten/kota atau setara 8.5 persen total dpt yang ada, persoalan wilayah NTT yang merupakan daerah kepulauan semakin meruyamkan persoalan calon untuk mengumpulkan minimal angka KTP yang diminta oleh KPU untuk  maju dalam perhelatan pilgub kali ini. 

Sehingga pilihan menggunakan kendaraan partai politik adalah sesuatu yang dianggap lumrah dan memungkinkan bagi paslon untuk bersaing menuju NTT 1 dan NTT 2. Dengan kondisi yang demikian, pilgub kali ini bukan hanya sekedar pertarungan antara para putra-putri terbaik NTT saja, tetapi lebih dari itu akan menjadi pertarungan antar partai politik dengan sermua kepentingan yang melingkupinya.

Perlu disadari bahwa pilgub kali ini, tidak hanya sekedar maju ataupun sekedar ikut-ikutan karena memiliki kuda tunggangan (baca: partai politik) semata tetapi bagaimana mengemas isu menarik sebagai sebuah kekuatan  melalui deretan program yang "wah" dari para calon pemimpin untuk kemudian menarik minat masyarakat untuk kemudian memilih mereka duduk singsana yang sebentar lagi akan ditinggalkan oleh pendahulunya. 

Kemiskinan yang akut, pendidikan sembarawut, kesehatan yang jauh dari perhatian, minimnya air bersih, listrik dan infrastruktur jalan adalah deretan program para calon yang masih jadi prioritas dalam setiap perjumpaan mereka dengan masyarakat di setiap kampanye di berbagai daerah di NTT walaupun dengan warna lain sebagai bumbunya. 

Namun demikian, penulis tidak akan mengupas persoalan materi kampanye yang demikian karena penulis masih menganggap sebagai sebuah kewajaran karena public NTT pun tidak sedang buta ataupun tuli melihat realitas yang terjadi di bumi flobamora ini. Tapi satu yang menjadi catatan penulis yang kemudian menggunggah penulis membuat tulisan ini yakni menguatnya politik identitas jelang pencoblosan pada tanggal 27 Juni mendatang sebagai sebuah realitas baru (mungkin juga lama) yang kini tengah kembali menguat, malah menyerempet masuk dalam ranah kampanye walaupun tidak kemudian sevulgar pada umumnya dengan melihat fenomena ini dari sudut pandang komunikasi politik.

Politik Indentitas: Wajah Baru Perpolitikan Kita

 Menurut Ahmad Syaffi Maarif dalam bukunya Politik identitas dan masa depan pluraslisme kita (2012), politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Atau dengan kata lain politik identitas muncul karena ada rasa kesamaan baik secara ras, etnis, agama maupun elemen lainnya yang merekat yang kesemuanya bertujuan untuk mendapat dukungan dari masyarakat. 

Dengan perasaan yang demikian, penulis kemudian dapat menyimpulkan bahwa politik identitas tidak akan lepas terpisah dari sikap primodialime yang sudah terlebih dahulu ada semenjak manusia itu lahir. Iya sikap primodialisme yang dimaksud di sini adalah perasaan kesukuan yang terlampau berlebihan yang nantinya bisa membawa dampak buruk jika tidak kemudian dimanage secara baik, karena akan memunculnya sikap etnosentrisme infeksibel/atau melihat segala sesuatu dari kacamata budaya sendiri. 

Tidak perlu jauh-jauh pilgub Jakarta adalah bukti sahihnya dengan menempatkan seorang ahok yang notabene berasal dari suku Cina, dan beragama minoritas menjadi pesakitan akibat berada di wilayah mayoritas. Perbedaan agama dengan segala yang dimilikinya seolah menjadi aib bagi Jakarta itu sendiri. Apalagi Jakarta adalah ibukota Negara yang bermayoritas muslim. 

Perasaan kekitaan yang kental itu kini perlahan tapi pasti sudah mulai merambah juga ke daerah NTT sebagai salah satu daerah yang paling pluralis dan sangat menghargai toleransi hingga diganjar penghargaan dari pemerintah pusat. Namun sepertinya penghargaan itu, hanyalah kepingan yang nampak dari sekian yang tidak nampak karena selebihnya isu agama dan kesukuan masih mengintari ketoleransian kita sebagai warga masyarakat NTT terlebih menjelang pencoblosan nanti. Munculnya ajakan untuk tidak boleh memilih ini karena agamanya ataupun tidak boleh memilih itu karena dia berasal dari suku itu adalah sebuah fakta yang tidak boleh dianggap remeh walaupun hanya berkutat di arus bawah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline