Lihat ke Halaman Asli

Poligami menurut UU Perkawinan

Diperbarui: 4 April 2017   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah diskusi yang diadakan CEPP UI Depok tanggal 7 Januari 2014 kemarin, para peneliti UI menyindir tentang gaya hidup petinggi PKS yang hidup mewah dan berpoligami. Lebih lanjut poligami sejalan dengan gaya hidup pragmatisme dimana ketika seseorang tengah berkantong tebal maka ingin berumah dan beristri lebih dari satu. Seolah poligami merupakan tindakan yang kurang tepat, para peneliti ini secara tersirat tidak setuju dengan poligami.

Memang sejak dulu hingga kini beristri lebih dari satu ini kerap memunculkan pro dan kontra, namun coba kita cermati dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 (UU P), apakah memang poligami ini boleh, pantas atau tidak mungkin dilakukan. Terkait dengan hal ini, kita lihat pasal 3 UU P: “(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Dengan demikian pada dasarnya kita menjunjung tinggi keagungan cinta suami istri yang pada saat melangsungkan pernikahan pertama kali berasal dari satu suami satu istri. Karena memang tidak dimungkinkan pernikahan pertamakali diadakan antara satu suami dengan beberapa istri. Namun demikian hukum di Indonesia memungkinkan untuk memperistri wanita idaman lain bagi suami dan sangat dilarang keras bagi si istri untuk mempersuami pria idaman lain alias poliandri.

Lebih lanjut pasal 4 berbunyi: “(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.” Dari bunyi pasal ini ternyata berpoligami dapat dilakukan namun dengan persyaratan yang cukup ketat, yaitu haruslah memohon izin kepada Pengadilan tempat si suami tinggal. Misalnya dirinya bertempat tinggal di Jakarta Selatan maka mengajukan permohonan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Selanjutnya Pengadilan tidak sembarangan memberikan izin kecuali dapat dibuktikan jika istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban. Apa yang disebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sungguh teramat luas. Jika si istri bapak A yang seorang Karyawan biasa tentunya memiliki kewajiban yang tidak sama dengan kewajiban istri B yang boss. Adapun persyaratan pembuktian cacat dan mandul sebagaimana butir a dan b memang cukup dapat diterima.

Namun ternyata perjuangan orang yang mau berpoligami tidak berhenti sebagaima terurai dalam pargraf kedua di atas. Pasal 5 UU P lebih lanjut menentukan: “(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.” Dari uraian ini dapat dicermati ternyata dalam rangkan permohonan izin ke Pengadilan seseorang yang mau berpoligami harus membawa persetujuan dari istrinya yang ada. Disinilah timbul pertanyaan adakah seorang istri yang memberikan persetujuan kepada suami tercinta untuk beristri lagi (mungkin saja ada jika yang bersangkutan sadar akan keadaan dirinya yang cacat dan tidak dapat melahirkan). Kalaupun istri tidak mau memberikan persetujuan ternyata mungkin saja dalam ayat 2 – nya poligami tetap dapat dilakukan karena tidak bisa membawa persetujuan istri dikarenakan si istri tidak mungkin dimintai persetujuannya. Jika ini yang terjadi bagaimana perasaan seorang istri yang tidakmemberikan izin namun tetap sang suami berpoligami.

Uraian persyaratan tersebut menurut UU P membuka mata kita, ternyata untuk melakukan poligami tidaklah gampang jika harus tunduk, taat dan patuh pada ketentuan yang berlaku dan norma kepatutan namun dalam prakteknya kenapa tidak sedikit orang yang dapat melakukan poligami meski dengan persyaratan yang teramat ketat dan memerlukan perjuangan luar biasa.

Him – Jan 14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline