Baru Kamis pekan lalu, 31 Oktober saya menyatakan catatan baik saya—meski jujur sangat dengan berat hati—terhadap sistem hukum di Indonesia atas tertangkapnya kembali Ronald Tannur yang membunuh kekasihnya Dini Sera Afrianti, namun pekan ini hati saya potek dan juga prihatin.
—
Baca juga:
Femisida Dini Sera: Pepesan Kosong "Fiat Justitia Ruat Caelum"?
Adalah Meirizka Widjaja yang membuat hati saya membatin sedih. Ia sedang diselidiki sebagai dalang Ronald Tannur divonis bebas;
Meirizka Widjaja adalah ibu pelaku femisida yang membuat nyawa perempuan bernama Dini Sera itu melayang.
Meirizka Widjaja diduga terlibat aktif—melakukan persekongkolan bersama pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat—dalam upayanya meloloskan Ronald Tannur dari jerat hukum saat persidangan Ronald Tannur berada di tingkat kasasi.
Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar saat rilis keterangan di Kejaksaan Agung RI, Senin 4 November 2024 yang lalu mengungkapkan jika Meirizka Widjaja menyiapkan Rp 3,5 miliar untuk memilih majelis hakim yang mengadili Ronald Tannur. Uang suap itu diberikan bertahap dua kali, pertama sebanyak 1,5 miliar rupiah dan sisanya 2 miliar rupiah pada Lisa Rahmat dengan dalih 'biaya perkara'.
Dengan kata lain, segala biaya yang semula dikeluarkan oleh Lisa Rahmat akan diganti oleh Meirizka—tentu saja semua atas seizin Ibu dari Ronald Tannur tersebut.
Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat adalah perpanjangan tangan Meirizka Widjaja—dan aktor lainnya adalah mantan salah satu pegawai di Mahkamah Agung, Zarof Ricar yang berperan sebagai 'makelar kasus');
keduanya yang pada akhirnya berhasil membujuk ketiga hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo agar melepaskan Ronald dari dakwaan pembunuhan.
Atas perbuatannya tersebut, Meirizka Widjaja dijerat UU 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP;