Menulis dan membaca adalah kausalitas.
Siapa saja yang berani dengan lantang menyebut dirinya pegiat aksara lengkap dengan segala penyebutan "label" yang menyertainya seperti sebagai seorang penulis, blogger, copywriter, scriptwriter, dlsbnya, mustahil bukan seorang pembaca yang tekun.
Bagi mereka, membaca adalah KEHARUSAN—jika tidak ingin dikatakan sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditawar.
Setali tiga uang dengan teman pegiat aksara yang lain, pun saya demikian.
Di antara terjangan rutinitas sehari-hari, bagi saya, membaca adalah bentuk lain dari cara saya melarikan diri;
meski tidak ada jaminan pikiran saya akan "happy ending" setelah menyelesaikan aktivitas membaca (jujur saya acapkali tak sadar misuh-misuh setelah membaca berita di kanal-kanal berita hanya karena membaca judulnya; atau sekadar membaca sesuatu yang menjadi viral di media sosial yang sengaja saya intip), tapi saya secara sadar paham itu bagian dari konsekuensi yang kadangkala tak mungkin bisa dielakkan.
Membaca dan identitas bangsa.
Kita tidak perlu membantah bahwa membaca MEMANG belum menjadi bagian dari keseharian sebagian besar orang Indonesia; bukan—belum menjadi—identitas kita. Tak heran tingkat literasi masyarakat Indonesia masih dikatakan rendah.
Jadi rasa-rasanya tak perlu marah seandainya kita disebut negara dengan sumbu pendek dan mudah diadu domba karena keterbatasan wawasan pengetahuan yang kita miliki.
Orang-orang Indonesia—kita—masih kental dengan identitas yang hanya pandai bicara. Tengoklah kalau sudah bertemu kerabat atau teman, kita akan betah berlama-lama ngobrol ngalur ngidul—atau sekadar bergosip?!
Sementara membaca?
Sila tanya pada diri sendiri.