Kontestasi lima tahunan bernama pemilu —akan—selalu menorehkan cerita, setidaknya persis sejak 2004 ketika pemilihan secara langsung diselenggarakan (pemilu 2004 adalah pesta demokrasi langsung yang untuk kali pertama dicatat dalam sejarah Indonesia).
Namun, yang kali ini tidak hanya "keras", juga teramat menguras mental.
—
Berbagai kejutan hadir di pemilu 2024, mulai dari yang bisa dimaklumi hingga yang diluar nalar;
berbeda dari pemilu yang sudah-sudah, tampaknya pemilu 2024 tidak lagi berlangsung dalam konteks pertarungan ide dan gagasan; di mana yang benar dan cemerlang akan menang dan yang sebaliknya akan kalah.
Rangkaian politik kali ini justru ditandai dengan banyaknya polarisasi antar mereka yang digdaya kekuasaan dengan yang dianggap fakir—dan rakyat pun seolah diminta sabar melihat kelakuan para elitnya yang bisa dikatakan barbar.
Dari jauh yang bisa dipahami, politikus mengalami krisis kepercayaan publik.
Baca juga:
Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat
Tetapi, pemilu belum usai. Pilkada menunggu di depan mata—yang dengan segala dinamika prosesnya, memantik pula rasa ingin tahu.
Jakarta tetap (masih) menjadi cerita.
Jakarta kelak tidak lagi akan menjadi ibu kota negara dan teka-teki siapa saja kontestan yang akan bertarung, pun sudah diketahui khalayak (bahkan hingga dinilai melibatkan instrumen penyelenggara negara); namun Jakarta belum kehilangan pesona.
Riuh Anies Baswedan yang gagal dicalonkan sebagai kandidat gubernur setelah sebelumnya masuk bursa pencalonan tampaknya belum usai; sekarang ada ajakan coblos semua (coblos ketiga kandidat calon gubernur) oleh para simpatisannya.