Kritik tajam diberikan mantan wakil presiden ke-10 dan ke 12, Jusuf Kalla terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim tatkala menyentil kinerjanya sebagai menteri yang jarang mengecek banyaknya permasalahan pendidikan yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
JK bahkan membanding-bandingkan Nadiem dengan beberapa nama para menteri pendidikan pendahulunya.
Baca juga:
X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial
JK menyoroti Nadiem karena Nadiem dinilai tidak cakap sebagai menteri (baca: karena ia bukan seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan) dan berharap di era pemerintahan presiden terpilih (Prabowo Subianto) kelak diisi oleh para menteri yang berpengalaman.
Baca juga:
Gerakan Bawa Bekal: Kurangi Jajan dengan Pendidikan Makanan
Zaken kabinet dan para ahli
Seolah setali tiga uang dengan harapan JK, di lain sisi ada pula wacana Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang akan menerapkan zaken kabinet pada pemerintahan yang dibentuknya.
Secara sederhana, zaken kabinet adalah kabinet yang diisi oleh mereka yang ahli di bidangnya (profesional);
ahli yang ditunjuk sebagai menteri nantinya bisa saja berasal dari suatu partai politik, tapi dengan catatan yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan terhadap partai tempat ia bergabung (?)—atau dengan kata lain, ia tidak merepresentasikan diri terhadap partai politiknya tersebut.
Kabinet dengan sistem ini tidak melihat berapa jumlah kursi di parlemen—yang berarti pembentukannya sesuai penunjukkan presiden (baca: presiden menggunakan hak prerogatifnya).
Baca juga:
Pilkada Serentak 2024: Keterwakilan Perempuan Masih Sebatas Lipstik Politik?
Zaken kabinet pernah dilakukan beberapa kali pada era pemerintahan presiden Soekarno. Namun, yang paling mendapat perhatian adalah zaken kabinet yang diketuai Djuanda Kartawidjaja (yang dibentuk saat muncul ketidakstabilan politik pasca pemilu 1955).