#1
Jika kembali memutar waktu di hari Bapak saya meninggal, memori itu terulang lagi.
Sejak pagi saya dan kedua adik saya terus memantau perkembangan kondisi Bapak, apakah menunjukkan sesuatu yang menggembirakan atau tidak—meski saya tak menghitung berapa kali persisnya kami meminta suster jaga untuk bantu mengecek Bapak yang terbaring tidak sadarkan diri lengkap dengan masker oksigen berkantung yang menutupi area mulut dan hidung.
Belakangan saya tahu masker itu digunakan untuk memasukkan oksigen dengan konsentrasi 60-95 persen; yang dapat diartikan, tanpa alat itu, mustahil Bapak bisa bertahan.
Kembali saya meminta suster jaga mengecek Bapak karena saturasi oksigen Bapak semakin rendah. Tapi hasilnya tetap sama; tak ada yang bisa dilakukan selain memantau.
Kondisi Bapak memang menurun, Mba. Semua tindakan sudah kita lakukan. Sabar ya. Perbanyak doa aja.
Kalimat itu meluncur dari mulut suster jaga—dan sebelum keluar dari ruangan untuk kembali ke nurse station, suster itu sempat tersenyum yang bisa saya artikan sebagai senyum keprihatinan.
Sebagai orang yang berusaha selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari segala hal demi bentuk antisipasi, tidak sulit bagi saya untuk tahu maksud dari ucapan suster jaga itu. Tapi, saya tak ingin menjelaskannya lebih "jauh" terhadap kedua adik saya.
Karena menambah rasa khawatir bukan sesuatu yang bijak, pikir saya kala itu;
percayalah, tetap terlihat tenang meski kalut adalah sebuah keahlian.
#2
Memang pada akhirnya malang tidak dapat ditolak karena kurang dari dua jam sejak suster mengatakan itu, Bapak meninggal.
Baca juga:
Sal Priadi dan Gala Bunga Matahari: Sebuah Seni Merayakan Kehilangan
Yang dilakukan oleh suster jaga ketika itu tidak salah; ia hanya tanpa sadar mempratikkan eufemisme melalui ucapannya.