Kebijakan pembatasan gula (dan juga garam) oleh pemerintah menjadi angin segar. Ini diambil bukan saja untuk menekan anggaran (yang tampaknya memang tidak sedikit dialokasikan pada bidang kesehatan) namun juga berbanding lurus untuk kesehatan masyarakat Indonesia itu sendiri.
Mengapa tidak dari dulu, pikir saya.
Mengapa Indonesia selalu kalah langkah dibandingkan tetangga sebelah negara, Singapura?
Karena kita tahu, tidak semua masyarakat mendapatkan literasi yang berimbang menyoal kandungan gula (beserta turunannya) beserta cara mengonsumsinya yang tepat guna, terutama kalangan menengah ke bawah. Sehingga dibutuhkan langkah konkret yang cepat sebagai bentuk antisipasi.
Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Balita Indonesia darurat gula
Jangan senang dulu jika melihat seorang anak balita bertubuh gendut. Bisa jadi itu bukan otot melainkan lemak—lemak di tubuh ada, karena konsumsi gula yang tidak semestinya. Apalagi olahraga belum menjadi prioritas bagi para orang tua (bahkan rasa-rasanya mustahil—kalaupun ada namun sedikit sekali) untuk diterapkan pada anak-anak khususnya balita.
Perkembangan zaman yang tidak mungkin ditolak membuat makanan dan minuman di pasaran pun tidak mungkin bisa dihindari sepenuhnya. Maka sudah barang tentu orang tua lah yang mengambil peran utama untuk anak balitanya.
Pertanyaannya: mengapa masih banyak para orang tua yang membiarkan dengan sembrono anak balitanya mengonsumsi gula berlebih dan sembarangan?
Karena sayang anak?
Banyak memang orang tua yang mempertaruhkan kesehatan anaknya dengan memberikan makanan dan minuman yang mengandung tinggi gula hanya dengan alasan sayang anak. Sungguh ironi.