Rasanya masih segar dalam ingatan sebagian besar orang mengenai bagaimana gonjang-ganjing yang dihebohkan oleh influencer Gita Savitri tahun lalu menyoal child free yang ia pilih bersama pasangannya.
Banyak yang menyetujui pilihannya namun jelas secara jamak lebih banyak yang menghujat.
Hujatan-hujatan groupthink yang bersifat intimidasi tersebut dihadapi Gita dengan caranya sendiri—ia tak peduli dianggap sebagai public enemy ketika itu.
Baca juga:
Gita Savitri dari Child Free Sampai Anti Aging Alami, Ini 4 Alasan untuk Bersikap Biasa-biasa
Groupthink sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Psikolog Irving Janis
yang melakukan penelitian secara ekstensif mengenai pengambilan keputusan kelompok dalam kondisi stres dan dimuat dalam Psychology Today edisi November 1971.
Secara sedikit garis besar, bisa saya simpulkan groupthink adalah menganggap bahwa seorang individu cenderung menahan diri mengungkapkan pendapatnya yang sebenarnya terhadap suatu hal yang dirasa ragu hanya karena sebagian besar orang memilih berseberangan (dengan penilaian yang diambilnya tersebut) dan sepakat untuk menyetujui—sekalipun pendapat secara jamak tadi boleh jadi mengabaikan etika dan moral.
Baca juga:
Belajar dari Gita Savitri: Sejak Kapan Influencer Harus Jaga Perasaan Warganet
Menyoal anak sendiri, sudah menjadi rahasia umum jika Jepang menjadi salah satu (ada pula Korea?) negara yang tingkat kelahirannya semakin menurun tiap tahun.
Banyak faktor yang menyebabkannya, tapi hal paling substansial tak jauh-jauh dari masalah ekonomi—apalagi sejak Jepang mengalami perekonomian yang mandek tiga puluh tahun terakhir.