Lihat ke Halaman Asli

Kazena Krista

TERVERIFIKASI

Photographer, Media Freelancer

Sebuah Memoar: Palembang yang Selalu Tak Pernah Riang Saat Karhutla Menerjang

Diperbarui: 10 September 2021   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana kota Palembang saat karhutla parah di September 2019. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto oleh Kazena Krista) 

Waktu adalah cerita. Cerita adalah peradaban. Tidak ada waktu tidak ada cerita, tidak ada peradaban—yang bisa diceritakan. 

Oh, ya, tentu saja saya sedang mencoba untuk sedikit pandai berkata-kata—alih-alih mengakui diri sebagai seorang pencerita ulung, saya lebih pantas menyebut kalau saya masihlah seseorang yang payah dalam hal itu. 

Pemilihan kata saya dalam mengolah kalimat atau mendeskripsikan sesuatu tidak benar-benar baik. Jikapun harus disandingkan dengan penulis-penulis kesayangan saya (baca: terutama penulis-penulis fiksi fantasi), saya hanyalah rengginang dalam kaleng biskuit Khong Guan yang sama sekali tak berharap dapat mengejutkan banyak orang—meski saya akan menganggap kejadian yang sangat luar biasa jika Roald Dahl, atau J. R. R. Tolkien atau C.S. Lewis, atau Rick Riordan atau bahkan J. K. Rowling bersedia duduk di hadapan saya secara langsung dan berbagi cara bercerita ala mereka. 

Baiklah, simpan ocehan saya tentang mereka. Bukan itu yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. 

Menyoal bercerita (baca: berkenaan pada proses kreatifnya) baik untuk menulis atau storytelling melalui fotografi jalanan—kalau boleh jujur pada praktiknya—saya punya cara saya sendiri yakni jalan-jalan sendirian.

Baca juga: 5 Hal yang Harus Dipikirkan Para Puan Saat Melakukan Street Photography Sendirian

Jalan-jalan sendirian yang saya maksud tak selalu punya tujuan tempat yang jelas—dan tak harus selalu mengeluarkan uang kalau boleh saya tambahkan, asalkan bensin tersedia dan tumbler saya berisi air putih yang cukup untuk beberapa jam berkeliaran. 

Baca juga: Every Picture Tells Story dan Ini 5 Alasan yang Membuat Saya Mencintai Fotografi 

Bagi saya, itu (baca: jalan-jalan sendirian) memiliki nilai tersendiri karena saya dapat menyaksikan secara langsung tiap denyut kehidupan yang ada yang tersaji di depan mata saya—dan tentu saja hal tersebut tak mungkin bisa diceritakan jika saya selalu berdiam di rumah tanpa menghabiskan kuota atau tanpa membaca. 

Namun, menyoal jalan-jalan sendirian yang kerap saya lakukan, saya jadi teringat hari-hari sepanjang kemarau pada September dua tahun lalu. 

Keadaan Palembang pada ketika itu sedang tidak baik—benar-benar sangat tidak baik yang pernah saya ingat.

Palembang saat itu sedang dikepung asap, lebih tepatnya kabutasap—yang tentu saja bukan asap yang mungkin kerap masih dapat dilihat sesudah subuh menjelang terangnya pagi (baca: yang diakibatkan sisa-sisa embun)—melainkan asap yang diakibatkan karhutla

Bukan sesuatu yang mengejutkan memang karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera Selatan sudah menjadi langganan, dan Palembang sering terkena dampaknya. 

Sebelum kabut asap karhutla parah di 2019 (baca: yang menjadi jantung tulisan ini; yang terparah menurut saya), empat tahun sebelumnya juga demikian. 

Saya tidak ingin mengambil porsi mereka yang ahli dalam urusan karhutla ini— apalagi menjadi orang yang sok paling tahu dengan membagi hal-hal teknis menyoal data dan lain sebagainya—saya hanya ingin berbagi cerita kalau hari-hari pada waktu itu membuat saya tidak semangat sama sekali berkegiatan di luar rumah. Saya frustrasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline