Mewujudkan hari H pernikahan tak semudah rahang sewaktu bilang sayang atau merasakan jedag-jedug uwuwu saat bilang rindu.
Fix, itu benar—meskipun menikah itu sendiri bisa dikatakan wujud nyata rasa sayang.
Karena, bagi—hampir—sebagian—besar dari kita (baca: orang Indonesia yang kental dengan adat-istiadat, budaya atau tradisi), perkara ini kastanya jauh lebih “tinggi” (baca: untuk dipikirkan) dibandingkan mengomentari kebijakan pejabat negara yang bisa dilakukan sembari menyeruput kopi saking “ajaib”-nya mereka—
Saya malah meyakini, persiapan hari h bahkan jauh lebih bisa bikin puyeng untuk ditindaklanjuti dibandingkan menjalani hari-hari setelah hari h pernikahan itu sendiri.
Ya, namanya rumah tangga, learning by doing sajalah, kalau meminjam istilah anak milenial sih, woles; yang penting show alias gongnya dulu yang diutamakan. Begitu kira-kira pemikiran kebanyakan dari kita di Indonesia tercinta ini.
Makin tahun nilai uang makin tidak ada “harga”-nya. Uang lima puluh ribu yang beberapa tahun ke belakang masih bisa bawa macam-macam belanjaan ke rumah, sekarang beda cerita.
Saya berkata seperti itu—dengan kata lain—untuk menganalogikan bahwa menyelanggarakan pernikahan sekarang (atau mungkin di masa-masa yang akan datang) harus ngumpulin duit jauh-jauh hari terlebih dahulu biar tak perlu merasakan shocktherapy yang keseringan.
Kenapa saya bisa bilang begitu?
Ya, terang saja karena saya berkaca dari pengalaman saya di lapangan sebagai fotografer kawinan, begini-begini saya seorang pengamat yang baik lho, ya meski ada sedikitlah main tanya-tanya.
Siapa yang saya tanya? Banyak. Ada staff wedding organizer, calon manten atau orang tuanya, vendor-vendor yang terlibat, dan lain sebagainya.