"Dienakin kok gak mau?"
Itu salah satu komentar yang saya baca di akun Twitter Nyelaras (@quweenjojo) di hari di mana Nyelaras—yang menurut pengakuannya—mendapat pelecehan seksual oleh Gofar Hilman, seorang content creator yang lumayan memiliki pamor.
Komentar bernada seksis tersebut dilontarkan oleh sejumlah laki-laki (saya malah punya keyakinan jika itu diucapkan sambil tertawa)—dan itu tentu saja tidak bisa tidak membuat darah saya mendidih.
Saya geram, bukan cuma karena saya berpijak dan menempatkan diri saya sebagai seorang feminis—melainkan komentar yang disuarakan itu memang sangat tidak pantas untuk diucapkan karena tidak hanya merendahkan puan baik secara jenis kelamin dan gendernya namun juga merendahkan martabatnya sebagai manusia.
Saya jadi penasaran, apakah para pelakunya akan tetap bisa tertawa pada saat itu jika mereka satu per satu (atau salah seorang anggota keluarganya?) merupakan seorang rape survivor atau sexual abuse berikut riwayat pengalamannya?
Dari ujaran seksis tadi menunjukkan pada kita betapa gaya bercanda (baca: dominannya) sebagian dari kita yang cenderung pada hal-hal yang mengarah ke ranah seksual masih dianggap biasa—alih-alih dinormalisasi.
Padahal, meski bercanda atau dalam kerangka humor sekalipun, gaya (bercanda) seperti ini sama sekali (baca: sangat) tidak lucu—alih-alih bisa diterima!
Lagipula, di mana letak lucunya sehingga mengundang gelak tawa?
Di kehidupan kita dalam bermasyarakat juga demikian, kelakar-kelakar berbau seksis—dan atau misoginis—ini juga tidak terlalu samar untuk kita curi dengar.
"Kucing mana yang nolak dikasih ikan, ya nggak?" atau “Wih, bulunya banyak, nafsunya gede tuh!”