Lihat ke Halaman Asli

Kazena Krista

TERVERIFIKASI

Photographer, Media Freelancer

Feminisme: Sebuah Catatan Singkat tentang Pancasila yang Bukan Semata-mata "Saya Indonesia Saya Pancasila"

Diperbarui: 1 Juni 2021   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Simbol burung Garuda sebagai dasar negara Pancasila. (Sumber: via Mancode.id) 

Jika ada yang bertanya siapa yang paling Pancasila maka mungkin—salah satunya—adalah dia yang mengaku dirinya sebagai feminis lah, jawabannya.

Mengapa saya begitu percaya diri mengatakannya demikian?

Karena seorang feminis dengan feminismenya selalu berangkat dari rasa keprihatinan atas ketimpangan dan ketidakadilan. Seorang feminis tak melulu adalah seorang puan. Siapapun bisa menjadi feminis; feminis tak tersekat jenis kelamin atau gender tertentu—dan jika landasannya adalah konstitusi yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 maka seorang feminis sudah berada di jalur yang "benar"—karena sejatinya segala yang tertuang pada keduanya sangatlah feminis.

Pancasila adalah acuan para feminis dalam bergerak untuk mencapai apa yang sudah menjadi tujuannya sejak awal yakni kesetaraan—dan Pancasila tidak bersebrangan dengan feminisme itu sendiri.

Jadi, bagi siapapun yang menolak feminisme—apalagi semata-mata hanya dengan beranggapan jika dia teori yang berasal dari Barat—mungkin orang tersebut masih gagal dalam memahaminya alih-alih menyikapinya.

Karena feminisme (dan juga Pancasila) memandang siapa saja (baca: baik laki-laki dan puan) selalu setara dalam hal apapun—di berbagai lini kehidupan.

Pertanyaannya adalah jika dalam konstitusi saja, jelas baik laki-laki dan puan dipandang setara sebagai warga negara lalu mengapa laku yang dipertontonkan (baca: kita secara dominan) justeru kebalikannya? 

Ada kah yang bisa membantu saya dalam menjawab pertanyaan ini?

Kembali ke feminisme, mungkin yang kebanyakan orang tahu, seorang social justice warrior dengan label feminis identik dengan terlalu banyak berkoar-koar menuntut kesetaraan para puan; dianggap tidak menyukai laki-laki sebagai seutuhnya "pemimpin"—alih-alih dianggap melawan kodrat Tuhan. Padahal jelas tidak demikian.

Feminisme tidak berupaya menentang laki-laki secara harfiah melainkan menentang kondisi struktural yang justeru lebih banyak (baca: nyaris hampir semuanya) menguntungkan serta mengutamakan laki-laki. Sebaliknya, dia ingin menggandeng semuanya, tanpa membedakan jenis kelamin—bahkan lintas gender sekalipun.

Feminisme berbicara tentang how to change anyone's mind—tentang bagaimana perjuangan melawan feodalisme (baca: ketertinggalan cara berpikir) masa kini yang tentu saja hingga sekarang masih terjadi di masyarakat yang dengan atau tanpa kita sadari justeru menyebabkan kita seolah masih jalan di "tempat"—dan tentu, itu selaras dengan cita-cita Pancasila (baca: baik yang mampu kita pahami secara tersurat maupun lebih dalam lagi secara tersirat) yang digagas Bung Karno melalui Piagam Jakarta—yang menjadi cikal bakal terbentuknya Pancasila.

Namun, kita bisa tengok apa yang terjadi hari-hari ini—tentang bagaimana permasalahan di negara ini yang kian carut marut: sungguh masihlah jauh panggang dari api.

Kita mengaku berketuhanan yang maha esa tapi dengan percaya dirinya sebagian dari kita merisak sebagian yang lain—hanya karena mereka tidak lebih mayoritas dari kita—atau kita mengaku paling berperikemanusiaan di hadapan negara namun pada kenyataannya kita enggan melakukannya pada sesama—alih-alih adil dan beradab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline