Lihat ke Halaman Asli

Kazena Krista

TERVERIFIKASI

Photographer, Media Freelancer

Buku Harian Seorang Istri, Consent dan Jahatnya Patriarki yang Sistemik

Diperbarui: 25 Maret 2021   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pemain sinetron Buku Harian Seorang Isteri (Sumber Magdalene.co)

Sejak awal saya sudah menggaransikan (berangkat dari sinopsis yang saya baca sebelumnya diawal-awal mulainya sinetron ini) jika sinetron ini akan memantik sisi emosional saya sebagai seorang perempuan sekalipun saya tidak dengan sengaja meluangkan waktu saya untuk menontonnya.

Dan benar saja, kian hari sinetron ini kian meresahkan!

Berangkat dari jalan cerita yang kian hari kian bikin gemas itulah, membuat saya merasa harus menulis artikel singkat ini.

Sedikit kilas balik, konflik utama dari sinetron ini diawali dari pernikahan terpaksa yang dijalani antara Nana (Zoe Abbas Jackson) dengan Dewa Buwana (Cinta Brian) atas permintaan Wawan (Umar Lubis), ayah Nana, jika Dewa tidak ingin dilaporkan ke polisi setelah menabraknya.

Singkat cerita permulaan sinetron ini diawali dengan digambarkannya secara jelas bahwa pernikahan Nana dan Dewa tidak bahagia karena memang tidak didasari dengan cinta sebagai konsep dasar berumahtangga dan dengan alasan itu pula lah—seolah bisa ditebak—Nana kerap mendapat perlakuan kasar dari keluarga barunya itu, termasuk dari suaminya. Seolah belum cukup, Dewa pun berselingkuh dengan Alya (Hana Saraswati) diawal pernikahan mereka.

Lihat, sejak awal saja betapa sudah jatuh tertimpa tangga—besi—pula apa yang dialami Nana!

Data survei yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Februari 2020 yang menyatakan enam puluh persen penduduk Indonesia masih merupakan penonton setia sinetron—dan itu seharusnya menjadi acuan bagi media (termasuk rumah-rumah produksi) untuk menghadirkan produk tontonan yang "sehat" ke tengah-tengah masyarakat. 

Sayangnya, Buku Harian Seorang Isteri (yang menjadi sorotan dalam tulisan ini) menjadi bukti konkret betapa harapan itu masih jauh panggang dari api. 

Dengan dalih masih diminati pasar: rating dipertuankan, harapan mendapat tontonan mendidik bagi kita masihlah bagai pungguk merindukan bulan.

Namun, dari sekian banyak kritik keras yang tak berkesudahan yang saya layangkan pada diri sendiri terhadap jalan cerita sinetron ini (baca: karena melanggengkan sistem patriarki dengan segala kerugian yang diakibatkan olehnya), ada satu yang benar-benar bikin saya mengurut dada beberapa hari belakangan—dan itu adalah masalah consent tentang hubungan (yang menyoal seks) yang menyangkut di antara laki-laki dan perempuan!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline