[caption caption="forum.detik.com/penting-yuk-kampanyekan-internet-sehat-t1076442.html"][/caption]Sebal dan kesal. Itulah reaksi spontan kita atas aksi sejumlah siswa –siswi yang melakukan konvoi di jalanan bertema ‘selebrasi Ujian Nasional’. Terlebih lagi, kita sebagai netizen makin panas ketika membaca berita tentang seorang siswi di Medan yang marah-marah sambil menunjuk-nunjuk secara tidak sopan kepada polisi yang hendak menilang, bahkan ia mengaku-ngaku sebagai seorang anak pejabat. (Turns out that he’s her far relatives).
Kasus gadis ini memang sangat disayangkan, tapi bila kita ingin objektif, tidak perlu terlalu ‘dihebohkan’, karena hal-hal seperti ini masih dikategorikan sebagai kenakalan remaja.
Kenapa tidak perlu digembar-gemborkan? Karena, kenakalan remaja atau juvenile delinquency belum dapat dikategorikan sebagai kriminalitas. Remaja masih berada dalam tahap peralihan menuju kedewasan; sulit bagi remaja untuk melihat sesuatu secara objektif dan etis. Remaja masih dalam bayang-bayang rasio yang dikendalikan secara besar-besaran olehdesire (hasrat) dan emosi yang, ah, anda tahulah.
Namun dari sisi lain, saya melihat bahwa kita semua, sebagai seorang netizen, juga masih terhitung sebagai ‘remaja tanggung’ dalam dunia maya. Ya, kalau mau dihitung-hitung, kita sebenarnya baru kenal dan memakai internet secara optimal sekitar belasan tahun yang lalu. Apalagi, soal media sosial seperti Facebook. Banyak dari kita baru membuat akun Facebook sektiar 3-5 tahun yang lalu, bahkan mungkin anak-anak remaja seperti saya sudah punya akun Facebook duluan (dan sudah bosan memakainya) dibanding orangtuanya. Jadi, kita semua masih terhitung remaja dalam penggunaan internet, bukan?
Nah, seperti yang saya katakan tadi, sifat ‘keremaja-remajaan’ itu masih membuat orang-orang terhipnotis pada dunianya sendiri, sehingga kita cenderung kekurangan sikap empati dan juga seringkali kurang memahami konsekuensi perkataan serta perbuatan yang kita lakukan.
Sama seperti si gadis yang tidak berpikir akan perasaan polisi yang dia lawan dan akan dampak dari perkataannya yang tiba-tiba menjadi begitu viral, kita juga seringkali tidak peka akan perasaan orang lain yang kita komentari di Internet dan kita tidak memikirkan akan konsekuensi yang akan terjadi setelah komentar itu ter-publish, baik bagi kita, bagi objek komentar kita, atau bahkan baginetizen lain dan masyarakat secara luas.
Kurangnya Empati dan Kepekaan Sosial = Bencana
Sore hari tanggal 7 April 2016, dikabarkan bahwa bapak si gadis ini meninggal. Orang bilang kemungkinan besar karena terpukul oleh rasa malu yang amat sangat karena tindakan anaknya yang tidak sepantasnya. Tapi saya percaya bukan hanya itu.
Ia pasti paling terpukul atas respon dan tanggapan masyarakat dan media yang begitu heboh akan permasalahan ini. Bahkan seramnya, banyak orang yang menunggangi kasus ini dengan kepentingan mereka masing-masing. Baik yang awalnya karena ingin membuktikan superioritas, ingin dilihat lebih benar didepan orang banyak lewat cara merendahkan orang lain secara semena-mena di komentar Facebook, atau memfollow akun Instagram si gadis ini hanya untuk menghinanya secara sadis (atau bahasa objektifnya, ‘berlebihan’).
Baik itu media yang suka menggembar-gemborkan masalah yang relatif ‘kecil’, dibanding korupsinya pejabat, atau konglomerat yang main suap.
Atau, bahkan ada yang sekarang jualan kaos berdasarkan kata-kata umpatan si gadis itu.
Satu hal yang sangat ingin saya tanyakan, untuk mengembalikan rasa ‘kemanusiaan’ kita, yaitu,”Gimana sih, bila kita menjadi dia? Apa yang akan kita rasakan?”