Lihat ke Halaman Asli

Melihat Nasionalisme dari Sudut Pandang Baru

Diperbarui: 14 Juni 2023   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata atau istilah "nasionalisme" rasa-rasanya sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Sejak menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar pun, guru-guru selalu mengajarkan dan mengingatkan kita pentingnya untuk mencintai bangsa dan negara kita. Kita pun terbiasa dengan upacara bendera yang diadakan setiap hari Senin meski kadang ada yang khidmat mengikuti ada pula yang ogah-ogahan. Semua itu tidak lepas dari upaya negara untuk menjadikan kita insan yang menghargai bangsanya lewat instrumen pendidikan. 

Cepatnya perubahan zaman yang kita alami ditambah dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, membuat pengertian nasionalisme mulai berubah dari apa yang kita pelajari di bangku sekolah dulu khususnya di kalangan generasi muda yang di gadang-gadang sebagai generasi penerus bangsa. Nasionalisme bukan lagi hanya tentang sikap bela negara, cinta pada negaranya, atau mengikuti rangkaian-rangkaian kegiatan peringatan hari besar. Salah satunya ada juga pada hubungan kesehatan mental dengan rasa nasionalisme.

Menurut Moeliono (2005: 775-776), nasionalisme adalah faham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: makin menjiwai bangsa Indonesia, kesadaran keanggotaan di suatu negara yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan. Jika dulu kita diajarkan bahwa salah satu sikap nasionalisme adalah dengan belajar sungguh-sungguh, di zaman sekarang untuk generasi muda berhubungan dengan produktivitas nasional. Kondisi mental masyarakat yang memprihatinkan tentu akan menghambat Indonesia untuk mencapai titel negara maju pada tahun 2045. 

Menurut Survei Kesehatan Mental Remaja Indonesia dan Nasional 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja memiliki masalah kesehatan mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja memiliki masalah kesehatan mental. Dari jumlah tersebut, hanya 2,6 persen yang menggunakan layanan konseling emosi dan perilaku. (PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP NASIONALISME DAN INTEGRASI BANGSA DI ERA MODERN, Ana Suheri, S.H., M.H1, Mantili, S.Pd., M.Pd2, Rosmawiah3, Albert4 Ilmu Hukum1,3,4, Pendidikan Sejarah2, Universitas PGRI Palangka Raya)

Bahkan dikatakan kondisi mental kaum muda sekarang memprihatinkan. Padahal, mereka lah yang akan menjadi senjata negara untuk keluar dari middle-income trap. Kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental telah mengawan sejak 5 tahun terakhir, tetapi hal ini belum menjadi prioritas pemerintah meski sudah dipikirkan. 

Adapun akses masyarakat untuk kesehatan mental masih tergolong eksklusif sehingga belum ada pemerataan meski membuncahnya masyarakat yang butuh akses ini. Hal ini seluruhnya tidak dapat dipandang sebelah mata saja karena ini menyangkut keberlangsungan SDM negara. Jika masalah ini tidak dapat perhatian lebih lanjut dari pemerintah, harapan Indonesia untuk menjadi negara maju di tahun 2045 akan menjadi tersendat. Edukasi mengenai pentingnya kesehatan mental masih menjadi hal yang tabu dalam negara (contoh: pengertian dan apa-apa saja gejala depresi, anxiety, bipolar, ADHD, kapan waktunya kita membutuhkan bantuan dari professional). 

Ditambah budaya gila kerja (hustle culture) yang sebenarnya tidak baik untuk dilakukan tetapi masih di glorifikasi banyak dilakukan oleh generasi penerus zaman sekarang. Perusahaan-perusahaan juga mengemban tugas untuk harus mengerti bagaimana memanusiakan pekerja-pekerja mereka dan tidak hanya memandang mereka sebagai "budak" perusahaan. Sampai saat ini, hilal solusi belum diberikan pemerintah dengan adanya bukti bahwa perbandingan antara kesehatan jiwa dan mental masih terlalu jauh. Padahal pemerintah memiliki peran perkasa dalam mementingkan kesehatan mental warganya demi memajukan produktivitas nasional.

Cita-cita besar Indonesia untuk mencapai gelar negara maju di tahun 2045 bisa terhambat jika produktivitas nasional mampet. Kesehatan mental bukanlah persoalan yang dapat dianggap seakan debu lewat. Pemerintah menjadi penggerak kuat untuk memberikan akses untuk kesehatan mental dan memerhatikan mekanisme pekerjaan maupun pendidikan. Semua instrumen ini bersatu bersama-sama memajukan bangsa. Hal ini menjadi salah satu bentuk nasionalisme di zaman modern.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline