"Kendali Perekonomian Indonesia: Daya beli Masyarakat Kelas Menengah yang Semakin Lesu"
Kelas menengah ke bawah memilki peranan yang sangat penting serta krusial dalam struktur perekonomian suatu negara,karena mereka menjadi motor penggerak konsumsi dan pertumbuhan yang berkontribusi signifikan terhadap konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak keluarga di kelas ini menghadapi tekanan perekonomian yang semakin meningkat.Faktor-faktor seperti inflasi yang tinggi,kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang kian memuncak, dan stagnasi pendapatan yang telah membuat tantangan signifikan bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Situasi ini tidak hanya berdampak pada daya beli,namun juga kualitas hidup dan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak.
Inflasi terutama pada barang-barang kebutuhan pokok seperti makanan,tempat tinggal (perumahan),serta transportasi sehingga dapat menghambat produktifitas dalam beraktivitas.Hal ini dikarenakan ketika harga barang maupun jasa terus naik,namun pendapatan tetap stagnan menyebabkan pemenuhan kebutuhan pokok menjadi terancam.Pada tahun 2017,hanya dengan pendapatan 3 juta per bulan dapat memenuhi kehidupan sendiri ditambah dengan sisa pendapatan dengan menabung.Namun,untuk saat ini hanya dengan gaji 3 juta kita tidak dapat menabung karena pelonjakan harga barang kebutuhan pokok yang kian naik secara ekstrem.Tetapi terkadang dalam manajemen keuangan tiap individu berbeda.Selain itu,dampak dari pandemi COVID-19 juga masih dirasakan oleh beberapa lapisan masyarakat hingga saat ini.Karena dampak dari hal tersebut menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan melalui PHK,terdapat beberapa perusahaan yang harus menyusun ataupun merintis kembali usahanya dikarenakan menurunnya daya beli serta terdapat beberapa pegawai yang mengalami pemotongan gaji yang cukup besar,sehingga kini menambah beban ekonomi mereka.
Tekanan perekonomian tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu,tetapi juga berdampak serta berpengaruh besar kepada stabilitas sosial dan politik. Ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi dapat memicu protes dan ketidakstabilan, yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, penting untuk memahami dampak dari tekanan ini dan mencari solusi yang efektif untuk mendukung kelas menengah ke bawah.
Mengutip dari laman CCN Indonesia yang menampilkan bahwa terkait daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah menurun. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh data Survei Konsumen yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI).Berdasarkan data Survei Konsumen BI edisi November 2023, rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp5 juta sebagian besar mengalami penurunan.Penurunan terdalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta, diikuti kelompok pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat harus merelakan tabungannya. Berdasarkan hasil survei yang sama, alokasi pendapatan masyarakat untuk menabung mengalami penurunan dari 15,7 persen menjadi 15,4 persen. dapun beberapa faktor yang mendukung termasuk deflasi yang tercatat tiga bulan berturut-turut. Kemudian, menurunnya kinerja industri manufaktur sehingga PMI Manufaktur masuk ke zona kontraksi.Selain itu, terjadi banyak PHK akibat melemahnya permintaan sehingga produksi tertahan dan ekspor menurun.
Dari hasil data tersebut,maka ditemukan juga faktor yang melatar belakangi alasan mengapa daya beli Masyarakat Indonesia menjkadi lesu atau menurun terlebih pada Masyarakat kelas menengah kebawah.Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja sempat mengungkapkan biang kerok menurunnya daya beli masyarakat. Menurutnya, penurunan daya beli masyarakat terjadi karena tiga sebab yaitu:
- Maraknya judi online (judol). Ia mengatakan judol membuat masyarakat kehilangan banyak uang."Orang sudah hopeless, judol. Bahkan bank dibawa-bawa. Cara judol ada e-wallet, ada tunai banyak sekali tidak ter-detect. Ini menggerogoti daya beli masyarakat," katanya dalam acara BCA UKM Fest di Mal Kota Kasablanka, Rabu (7/8).
- Berkurangnya diskon yang ditawarkan belanja online. Jahja menuturkan dalam beberapa tahun lalu, platform belanja online menawarkan banyak diskon kepada masyarakat.Hal itu menurutnya membuat belanja masyarakat bergairah. Fenomena tersebut pun dikenal sebagai bakar uang dari pelaku platform belanja online."Ini masuk dan bakar duit, tahun 2022 dibakar Rp80 triliun yang menikmati middle class, tapi banyak lower class dapat income, ada daya beli subsidi indirectly," tutur Jahja.
Namun, saat ini diskon tersebut sudah mulai berkurang. Imbasnya, masyarakat harus berbelanja online dengan biaya lebih tinggi. Karenanya, daya beli pun menurun. - Berkurangnya jumlah pinjaman online (pinjol) ilegal. Jahja menuturkan pada saat covid-19 melanda, keberadaan pinjol ilegal marak di Indonesia.
Oleh karena itu, banyak masyarakat yang meminjam uang. Jahja mencontohkan ada satu orang yang bisa meminjam dana pada 20 pinjol sekaligus.Hal itu terjadi karena ia gali lobang tutup lobang. Dengan kata lain, saat ia tidak bisa membayar utang di satu pinjol, ia akan meminjam ke pinjol lain untuk membayar tagihan.Di sisi lain, ini memang merugikan masyarakat. Kendati, secara tidak langsung daya beli menjadi cukup kuat.
Dalam kesempatan lain, Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengatakan daya beli kelas menengah menurun terlihat dari pola belanja yang lebih memilih barang dengan harga terjangkau."Dari tren belanjanya udah kelihatan. Sekarang kita melihat uang yang dipegang kelas menengah makin kecil. Makanya kenapa toko seperti Miniso, KKV, DIY, kan penjualannya luar biasa karena mereka jualnya per item harganya lebih kecil," kata Ketua DPP APPBI Alphonzus Wijaja di PIK Avenue, Jakarta Utara, Kamis (8/8).Ia mengatakan kelas menengah memang masih tetap belanja, tetapi melirik produk yang harganya lebih murah. Sementara produk yang mahal mulai ditinggalkan karena jumlah uang yang menipis.Karena itu, katanya, peritel harus mengatur strategi menghadapi pelemahan daya beli kelas menengah bawah. Ia mengatakan peritel sebaiknya tidak menjual produk harganya terlalu mahal sehingga sulit dijangkau kelas menengah bawah.
Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan daya beli masyarakat turun, terutama kelas menengah, tercermin dari deflasi yang terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi pada Mei sebesar -0,03 persen, pada Juni -0,08 persen dan meningkat pada Juli 2024 sebesar -0,18 persen.
Menurut Didik, deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah. Tetapi ini bisa menjadi alarm tanda bahaya bagi perekonomian. "Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya," ujar Didik dalam keterangan, Jumat (2/8).
Sumber data : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240808080912-532-1130581/tanda-tanda-daya-beli-masyarakat-menengah-turun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H