Lihat ke Halaman Asli

Galau Karena Sapi

Diperbarui: 12 Agustus 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Aku juga Galau"

 

 Tataplah wajahnya.  Jujur,polos, lugu dan tentu saja pendiam. Tak pernah bicara. Bersuara hanya seperluhya. Pun setiap yang mendengar suaranya tak  indah ditelinga. Tak pernah memberi antusias. Saat bersuara pun orang  menyebutnya “mengeluh”. Betapa terbatas orang menghargainya. Betapa minim orang mengenalnya.  Tetapi mengapa minggu ini ia begitu istimewa?

Jangan pernah menganggap remeh si lemah dan  si polos. Jangan pernah menganggap enteng si lugu dan si pendiam. Sebab saat ia tak ada, saat menghilang dalam pusara kebutuhan semua merasa kehilangan. Semua merasa hidup seperti  tak pasti di masa depan. Dial ah si sapi. Dialah yang dalam satu pekan ini membuat banyak pedagang,  pejabat dan pemimpin galau.

Galau karena sapi sebenarnya memang bukan hanya sepekan dan akan dua pekan ini. Kalau mau buka arsip, galau karena sapi bahkan hampir setiap tahun terjadi. Bahkan seorang Nabi sekaliber Nabi Musa pernah dibuat galau oleh mahluk yang tak berdaya ini. Dalam kisah yang diabadikan Kitab Suci Al Quran dan Alkitab, Nabi Musa yang baru turun dari bukit galau oleh tindakan umatnya yang di pimpin Samiri. Umat yang tak sabar menantinya turun dari bukit karena menuggu wahyu Tuhan malah menjadikan patung anak sapi sebagai sesembahannya. Mengapa anak sapi? Tentu pada zaman itu sapi menjadi hewan yang paling istimewa.

Bisa jadi sapi adalah mahluk abadi. Tengok saja kebutuhan manusia akan daging dan susu telah berusia ribuan tahun,  seusia manusia di dunia. Tidak hanya itu, sapi juga menjadi mahluk idola masyarakat agraria. Saat mesin traktor belum ada, sapi bersama petani mengolah sawah untuk menanam padi. Demikian istimewanya sapi,  bisa jadi sapi adalah mahluk Tuhan yang banyak pemujanya setelah matahari.

Memang galaunya pejabat dan sejumlah pedagang bakso oleh kelangkaan sapi berbeda histori dan konteksnya. Jika Nabi Musa galau karena ada sapi (emas), pejabat,  menteri dan presiden galau karena kelangkaan dan ketiadaan sapi.  Jika Nabi Musa marah atas pengkhianatan umatnya dengan menyembah anak sapi emas. Rakyat marah atas kelalaian pemimpinnya dengan kelangkaan daging sapi.

Galau karena sapi kini menjadi semacam wabah. Entah untuk mengalihkan isu terhadap semakin tenggelamnya rupiah atas dolar atau media memang sudah jenuh terhadap isu-isu kelas atas. Sapi adalah isu pinggiran yang kini tiba-tiba naik kelas menjadi headline news. Isu kenaikan harga sapi menjadi nasional.

Namun yang menarik, isu kelangkaan sapi yang dibombardir media yang baru berlangsung 2 hari, langsung direspon dengan pemberitaan lain; kapal yang membawa sapi sudah tiba di Tanjung Priok!! Dahysat men!!. Baru teriak dua hari sapi langka, secepat kilat sapi baru sudah mendarat. Banyak yang kaget. Kok bisa ya? Silahkan menafsirkan sendiri fenomena galau karena sapi.

Secara ekonomi,   setiap produk akan mengalami kelangkaan. Lalu  antara kebutuhan (demand) dengan ketersediaan (supply) berjalan tak beriringan. Jika kebutuhan bisa tak terbatas, ketersediaan barang sering terbatas. Entah terjadi secara alami, namun tak jarang kelangkaan karena rekayasa.

Soal sapi, memang harus diakui kebutuhan lebih tinggi daripada ketersediaan. Terlebih lagi saat konsumsi masyarakat meningkat, makanan berbahan baku daging sudah menjadi kebutuhan pokok. Ribuan UKM dari kelas kaki lima sampai hotel bintang lima menyediakan produk yang berbahan baku daging sapi. Wajar jika kecepatan kebutuhan dengan ketersediaan selalu tak berimbang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline