Lihat ke Halaman Asli

Ojek dan Kuasa Kelangkaan

Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Angkutan Kota No. 08 jurusan Tanah Abang-Kota tidak beroperasi hari ini (Kamis 30/07/2015). Ada beberapa armada yang mangkal di depan pintu stasiun Tanah Abang, namun tak nampak wajah sang supir. Angkot 08 yang biasanya berbaris sepanjang stasiun yang kini sudah lebih rapih dan tertib tinggal hitungan jari.  Kemana mereka?

Memang jangan khawatir.  Mengilangnya angkot membuat pekerja yang menggunakan komuter akan balik badan alias tidak ngantor. Ada banyak transportasi alternative atau bisa menjadi pilihan selain angkot. Ada taksi, bajaj dan tentu saja, ojek.

Pagi ini ojek-ojek seperti penguasa. Ia merangsek menawarkan jasa. Tak ada pilihan yag tersedia pagi ini. Memilih taksi bisa jadi terjangkau karena rata-rata para komuter berkantor di daerah yang sangat dekat dengan stasiun. Sebut saja Tanah Abang I, II dan III.

Sebut juga jalan Thamrin, jalan Merdeka Utara, Merdeka Selatan dan agak jauh gambir atau pasar baru. Tetapi menggunakan taksi sama saja dengan “menyandera diri” khususnya bagi yang jam kantornya sudah “injure time”.   

Naik bajaj? Masih agak lumayan, terlebih kalau bersama teman. Bisa sharing ongkos atau bisa numpang alias gretong. Tetapi bajaj tak pernah menetap disebuah lokasi di mana ojek begitu kuat mendominasi. Jadi bajaj bukanlah pilihan yang bisa mengobati kepanikan karena hilangnya angkot 08 dari peredaran.

Nah, disinilah  ojek yang kini  punya kuasa. Ojek memenuhi semua persyaratan yangh dibutuhkan saat calon penumpang didera  kepanikan. Ojek bisa sendiri tanpa harus menunggu penumpang lain. Ojek juga bisa menelusuri gang-gang kecil yang di Jakarta sering menjadi misteri. Ojek punya kuasa, penumpang panik punya derita. Di mana masalahnya?

Ojek hari ini di stasiun Tanah Abang memiliki Kuasa Kelangkaan. Saya pun harus melakukan pilihan yang rasional, memilih ojek. Namun apa yang terjadi? Harga atau ongkosnya melambung tinggi. Naik ojek degan jurusan yang biasa hari ini naik menjadi 100 sampai 300 persen.

Dari Tanah Abang Ke sarinah yang biasa Rp 15.000-Rp 20.000 ditawarkan Rp 50.000- Rp 60.000. Harga tiba-tiba di mark up dan tukang ojek bersatu menyamakan harga yang mencekik. Jika anda ngedumel karena dipalak preman untuk menyerahkan uang Rp 1000 atau Rp 2000, hari ini anda “dipalak” lebih dari 1000 persen tanpa sedikit pun keinginan melapor ke polisi.

Jika hari ini ada 1000 penumpang menggunakan ojek yang dimark up rata-rata Rp 10.000 s/d Rp 20000 maka ada 10 s/d 20 juta hari ini terjadi perampokan penumpang panik oleh pemilik Kuasa Kelangkaan. Saya pagi ini juga menjadi korban, saya tidak panic, posisinya belum “injuri time”. Saya masih bisa memilih alternative, meski memang akhirnya memilih yang paling rasional, yaitu ojek. Saya belum pernah naik ojek dari Tanah Abang ke Harmoni. Tapi tukang ojek yang saya tumpangi meminta Rp 20.000, saya tawar ia menetapkan Rp 15.000. Tidak ada pilihan, “oke deal”.

Dari tukang ojek inilah informasi tentang harga yang di mark up oleh “kumpulan tukang ojek” stasiun Tanah Abang” hingga sangat “menggila” saya dapatkan.  Lalu mengapa Bapak ini seperti ogah menjadi “perampok musiman?

Inilah strateginya. Saat para tukang ojek menguasai pasar, memegang Kuasa Kelangkaan, harga menguat. Hukum pasar berlaku.  Saat permintaan tinggi (demand) penawaran (supply) terbatas, harga menjadi tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline