Jika anda bepergian ke jogjakarta, anda pasti akan mengenal jogja sebagai kota dengan slogan "jogja kota berhati nyaman". Tulisan itu terpampang di papan jalan, selebaran promosi pariwisata, dan media publik lain. Tapi sekarang jogja sudah tidak lagi seperti slogan. Slogan hanyalah slogan. Yang dislogankan biasanya yang terjadi sebaliknya.
Jogja sudah berubah dalam waktu sekejap sebagai kota yang berhenti nyaman. Kota yang tadinya sempat bersaing dengan Solo ini sekarang sudah melorot sejak dipimpin oleh walikota yang baru yaitu Haryadi Suyuti. Anak buah Ical di Jogja ini makin lama makin terlihat buntu, untuk tidak mengatakan pandir. Setiap permasalahan masyarakat maupun birokrasi muncul, dia selalu mengambil keputusan yang tidak pernah tepat, tidak berpihak pada warga.
Singkatnya, walikota kota pendidikan ini selalu cari aman. Banyak orang jogja menyebutnya sebagai "joko endho" alias tukang ngelak, menghindar. Jika memang dia cakap, tentu pasti ada cara yang elegan dari sekedar menghindar cari aman.
Suyuti ini sudah dilantik jadi walikota sejak tahun lalu. Tapi skandal demi skandal, kesalahan demi kesalahan, masalah dmi masalah makin berketiak ular dibiarkan oleh sang walikota begitu saja. Paling banter dia membuat pernyataan sekenanya dengan jawaban "tidak tahu", "belum saya baca", "masih akan dipelajari", dan jawaban bodoh lainnya. Ini kota pendidikan, dab! Dikira kita puas dengan jawaban pandir seperti itukah?
Begitu dilantik, walikota yang sering dikenal di kalangan angkringan sebagai walikota "thukul", karena wajahnya 11-12 dengan pelawak kondang itu, sudah bikin skandal. Skandal perdana begitu terpilih adalah membuat kebijakan penyediaan mobil dinas untuk dirinya, wakilnya, dan untuk kapolresta serta kajari. Mobilnya x-trail. Desas-desus di angkringan seantero jogja kebijakan itu adalah balas budi "thukul" untuk para pejabat yang telah ikut memenangkan dia.
Tragisnya, sang walikota yang katanya kotanya istimewa ini membuat kebijakan itu justru di saat Jokowi melaunching mobil esemka sebagai mobil dinas pemkot Solo. Sungguh memalukan. Pantaslah jogjakarta makin merosot karena cara-cara politik yang kasar dan, orang jawa bilang, "saru". Andai saja Suyuti ini menjadikan motor trail (daripada mobil x trail) sebagai kendaraan dinas, mungkin malah dia tersohor. Unik kan? Toh jogja ini kan kota sempit, lebih luwes naik motor daripada kemana-mana naik mobil. Nggih mboten?
Skandal kedua adalah pembiaran praktek kekerasan yang dilakukan oleh para preman yang disewa oleh sebuah yayasan pendidikan yang merusak fasilitas sekolah swasta SMA "17". Padahal anak-anak sekolah tersebut hanya tinggal beberapa hari menjelang UNAS. Sekolah mereka dihancurkan gentengnya oleh preman-preman itu, meja kursi diobrak-abrik, murid-muridnya diintimidasi, dan akhirnya mereka pun belajar di pinggir trotoar depan sekolah mereka. Walikota yang kader Golkar ini pun cuek dan sama sekali tidak berkomentar terhadap kasus ini. Harian Kompas sempat memuat kasus ini bahkan sebagai berita foto di halaman paling depan atas.
Jogja yang katanya berhati nyaman pun telah berubah menjadi "berhenti nyaman" karena ulang walikotanya sendiri yang membuat dan membiarkan semua skandal itu terjadi. Kekerasan di lingkungan pendidikan maupun bau amis mobil dinas tadi cuma sekelumit contoh betapa Haryadi Suyuti sebagai walikota Jogja tidak mampu menanggung beban sebagai "pelayan masyarakat". Sang walikota ibarat the wrong man in the wrong place in the wrong time.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H