Sultan HB X kemarin siang mengeluarkan "sabdatama" (amanat) sejak terakhir dikeluarkan oleh ayahnya HB IX di tahun 1945. Kalau ayahnya mengeluarkan sabdatama untuk menegaskan bergabungnya Keraton Yogyakarta dengan NKRI, maka HB X kemarin menegaskan kemerdekaan Mataram yang punya "paugeran" (aturan dalam negeri sendiri).
Yang namanya sabdatama itu hanya dikeluarkan dalam keadaan genting, darurat, dan tentunya menjadi genting atau darurat itu karena menyangkut nasib rakyat kebanyakan. HB X mengeluarkan sabdatama tentu seharusnya menjaga sifat kedaruratan ini sehingga urgent untuk mengeluarkannya.
Tapi terus terang, jujur, "blaka suta", di Yogyakarta sekarang ini SAMA SEKALI TIDAK ADA KEADAAN GENTING yang menyebabkan nasib rakyat Yogyakarta dalam keadaan bahaya atau krisis, baik masa sekarang maupun di masa datang. Semuanya berjalan seperti biasanya di bumi Mataram ini. Business as usual.
Memang selama beberapa minggu terakhir, terjadi gonjang-ganjing Kadipaten Pakualaman karena terjadi perang dalam kerajaan tersebut antara Anglingkusumo dengan Ambarkusumo. Persoalan ini terjadi sejak 12 tahun yang lalu ketika PA VIII mangkat dan suksesi nya pun bermasalah karena legitimasi Pakualam yang sekarang lemah.
Persoalan ini makin keruh karena kelompok masyarakat yang selama ini menjadi penggerak gerakan pro-penetapan malah melakukan aksi anarkis dan fitnah kepada Anglingkusumo dan keluarga besarnya. Anglingkusumo pun mengajukan gugatan kejahatan terhadap pimpinan gerakan pro-penetapan tersebut ke POLDA DIY.
Terhadap gonjang-ganjing Pakualaman ini, Sultan HB X selalu punya komentar yang terus berulang-ulang sama yaitu "itu urusan internal, biarkan diselesaikan sendiri". Dia tidak mau berkomentar jauh soal ini. Sultan dan para pendukung penetapan ini selalu menyebar isu bahwa konflik di Pakualaman ini ada kaitannya dengan RUU Keistimewaan DIY. Terus terang, yang seperti ini naif, seolah-olah Sultan dan para pendukungnya tidak tahu bahwa konflik ini sudah ada jauh sebelum ada RUUK.
Tapi bisa jadi Sultan ini memang sedang panik. Suksesi kraton dan kadipaten di Yogyakarta ini MEMANG TIDAK PERNAH MULUS dan SELALU KONFLIK sejak HB I. Di Kadipaten Pakualaman sekarang konflik tersebut manifes. Namun di dalam Kraton sendiri laten sifatnya. Sangat mungkin terjadi konflik serupa ada di antara Sultan dengan keluarganya (istri, anak) dan kerabatnya (adik dari ibu yang sama atau yang berbeda ibu). Muaranya sama yaitu untuk merebut tahta Sultan sebagai raja, apalagi jika RUUK diketuk dengan isi penetapan sultan sebagai gubernur, maka pasti konflik itu yang tadinya laten pasti juga akan manifes, muncul ke permukaan, bahkan bisa jadi tidak lagi mengenal rasa malu. Demi kekuasaan, siapa sih yang tidak bersyahwat untuk merebutnya?
Maka, dalam keadaan seperti ini, memang tampaknya Sultan merasa ini adalah keadaan genting, darurat. Bagi siapa? Ya tentu bagi dirinya, keluarga, dan kerabatnya, termasuk para lingkaran kekuasaannya. Apakah rakyat Yogyakarta lantas juga merasakan situasi gawat darurat seperti yang dirasakan rajanya? Tampaknya sama sekali tidak. Rakyat Yogyakarta relatif tidak peduli dengan nasib Kraton karena memang Sultan, istri, dan keluarganya tidak begitu peduli dengan warganya. Tugas-tugas publik seperti kesejahteraan, keamanan, pendidikan bagi warga Jogja lebih banyak diupayakan oleh pemerintahan daerah di tingkat bawah, bukan oleh sultan sebagai gubernur.
Memang, Sultan yang sekarang jauh berbeda dari ayahnya, HB IX.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H