Lihat ke Halaman Asli

Faiz Amanatullah

Mahasiswa UMY

Menyongsong Peradaban Baru ala Prof. Kuntowijoyo

Diperbarui: 5 Maret 2019   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sejatinya yang bisa dan berkontribusi besar dalam membangun peradaban adalah ilmu pengetahuan yang mengakar dan tumbuh, bukan kekuasaan yang dijadikan sebagai modal untuk berserikat". 

Kalau ngomongin tentang peradaban mayoritas dalam benak kita akan teringat dengan perisitiwa penting dari masa ke masa atau juga kejayaan suatu pemerintahan, kerajaan dan lain-lain. Yaa intinya berkaitan dengan sejarah. Tapi tahukah anda? Kalau peradaban itu sendiri muncul dari asal kata bahasa arab -Tamaddun yang artinya adab. Nahh, artinya untuk membangun peradaban baru maka harus mempunyai masyarakat yang mempunyai adab dan moral yang pastinya baik dong.

Kalau pengen punya masyarakat atau negara yang beradab, yaa salah satu langkahnya adalah mewujudkan nilai sila ke-5 "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dalam NKRI, tentunya akan muncul istilah Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, mungkin arti bahasa membuminya adalah "negara yang baik dan makmur, serta penduduknya di berkahi dan mendapat ampunan Allah". Tapi sebenarnya kalau negara kita memang sudah makmur dan penduduknya sudah mempunyai materi yang banyak, belum tentu juga negara kita sudah menyandang Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Kok bisa? Oke saya kasih contoh, misalnya banyak sekali orang berjudi, main togel dan lainnya, dan hal-hal itu menyebabkan seseorang menjadi kaya raya, nahh tapi apakah perbuatan itu membuat tuhan tersenyum? Dan apakah dengan perbuatan itu tuhan akan meberkahi negara kita? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Jadi menurut saya dewasa ini belum banyak orang atau masyarakat, khususnya anak muda (kaum milenial) yang menyadari betul bahwa kita sekarang harus mampu untuk membangun sebuah peradaban yang baru. Yang tentunya harus lugas dan terarah. Kalau menurut saya aneh lagi sihh kalau sekarang kita tidak menyadari bahwa kita harus melakukan sebuah transformasi sosial di setiap bidang. Padahal berbagai seminar, artikel dan mungkin dosen anda juga yang sudah membahas wacana "Revolusi Industri 4.0", yang terkenal dengan "artificial intelligence" nya, atau sama juga artinya dengan kecerdasan buatan. Tapi, pada tulisan ini saya tidak akan menyinggung perihal "artificial intelligence" tersebut.

Dalam benak saya sih, suatu hal yang paling berbahaya di era "Revolusi Industri 4.0" atau disrupsi era bukanlah "artificial intelligence" yang jelas-jelas dibuat oleh manusia itu sendiri, yaa walaupun ada efeknya jugaa sihh. Tapi sesuatu yang memang itu sangat berpengaruh bagi saya sendiri adalah suatu hal yang mampu mempengaruhi paradigma dan hati nurani kita.

Revolusi Industri 4.0 itu, efek sampingnya adalah banjir informasi dari mana-mana. Baik itu yang valid maupun hoax. Nahh terus kita ga bisa bendung permasalahan itu tanpa kasih celah sedikitpun, karena nanti bendungan itu bakal jebol. Justru hal seperti yang yang sangat berbahaya dengan adanya disrupsi era ini, pikiran dan hati nurani pun mati. Minat bacot tinggi tapi minat baca rendah. 

Lalu apa yang harus kita lakukan? Sebenarnya yang bisa kita lakukan adalah filtrasi, yaitu dengan nalar atau akal sehat (Fans Rocky Gerung). Kalau nalar kita pengen bisa berjalan, banyakin baca buku. Karena buku itu info valid, tanpa editor lain setelah kamu beli buku itu. Gak kaya -wikipedia-. Maka dari itu, agar kita gak gampang terkena hoax, sudah semestinya kita melakukan transformasi sosial untuk menyongsong peradaban baru.

Kalau tentang transformasi sosial saya terinspirasi oleh buku Muslim Tanpa Masjid karangan Prof.Kuntowijoyo. Saya awal ngepoin Prof.Kuntowijoyo sejak saya gabung organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), karena beliau juga alumni HMI. Beliau juga sebelum wafat, mengajar dan sekaligus sebagai guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Beliau menginisiasi teori Ilmu Sosial Profetik di Indonesia, yang mempunyai makna ilmu kehidupan sosial yang berdasarkan kehidupan Nabi. Berasal dari surat Al-Imron ayat 110, Kuntowijoyo merumuskan menjadi 3 point, yaitu Amar Ma'ruf (Humanisasi), Nahi Mungkar (Liberasi) dan Tu'minunabillah (Transendensi).

Wacana profetik mencoba hadir ditengah-tengah persoalan sosial kebangsaan. Melalalui pilar humanisasi, liberasi dan transendensinya, wacana profetik diharapkan mampu menjadi solusi kompleksnya persoalan ummat dan bangsa, persis seperti kehadiran nabi kala membangun peradaban etik di makkah dan madinah, yakni menciptakan keseimbangan sinergis antara jasmaniah dan rohani, keseimbangan antara posisi manusia sebagai khalifah sekaligus sebagai hamba Tuhan di muka bumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline