Lihat ke Halaman Asli

Jokowi dan Politik Marhaenisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh arif saifudin yudistira*)

Menarik menyimak bagaimana gaya kepemimpinan pasangan gubernur dan wakil gubernur Jokowi-ahok. Keduanya tampil dengan gaya kepemimpinan masing-masing, perpaduan ini dinilai akan membawa Jakarta lebih baik. Gaya jokowi yang tampil blusukan dan mengamati persoalan dari bawah dikolaborasikan dengan gaya ahok yang tegas dan keras terhadap birokrasi dan aparatur negaranya akan memberikan sinergi yang baik terhadap penyelesaian masalah yang ada di lapangan yang dibawa jokowi.

Gaya kepemimpinan ini mengingatkan kita pada bagaimana soekarno yang hobi orasi dan blusukan di seluruh pelosok nusantara hingga melihat langsung perasaan dan apa yang dirasakan oleh kaum marhaenisme. Soekarno adalah sosok yang terjun ke bawah, memangkas birokrasi, dan langsung turun melihat realitas masyarakat kita. Sedang hatta lebih cenderung orang yang matang, penuh pertimbangan dan hati-hati dalam memutuskan sesuatu. Gabungan kedua pemimpin inilah yang membawa indonesia maju di awal-awal meskipun di akhir tahun 56-an, dwi-tunggal ini tak lagi bersatu karena demokrasi terpimpin yang diajukan oleh soekarno.

Apa yang ditampilkan oleh jokowi saat ini dipandang mirip dengan gaya gubernur jakarta ali sadikin, konon soekarno dulu membutuhkan pemimpin yang tak birokratis tapi bisa membangun jiwa kota. Jiwa kota itulah yang ditampilkan ali sadikin dengan keberanian dan dobrakannya melegalisasi judi untuk membangun jakarta pada waktu itu. Sedang bila ditilik saat ini, jokowi pun lebih sering ke bawah dan melihat kenyataan masyarakat kita langsung dari TKP, sedang ahok lah yang mengurus eksekusi dan menindaklanjuti dan menyikapinya.

Ala koboi

Kepemimpinan jokowi ini mirip gaya koboi yang datang ke tempat persoalan dan menyerang musuh kemudian pulang ke markas. Gaya jokowi pun tak jauh beda, akan tetapi kita pun juga sering melihat bagaimana jokowi pun tampak tak selamanya bisa menjalankan metodenya secara terus-menerus. Jokowi pun perlu melihat bagaimana kondisi fisiknya yang tak selamanya mampu mengurusi dan melihat persoalan jakarta dari ujung barat hingga timur. Selain itu, apa yang dibawa jokowi pun perlu kesigapan birokrasi, pegawai dan pihak-pihak yang bersangkutan. Baik dari persoalan kesehatan, kemiskinan, banjir yang kesemuanya itu tak bisa secepatnya diselesaikan sekali turun.

Gaya kepemimpinan jokowi lebih mirip gaya kepemimpinan marhaenisme ala soekarno. Turun kebawah, melihat persoalan, dan menyikapi langsung dengan jajaran birokrasinya. Gaya ini memang efektif pada satu sisi, karena selama ini bisa disimpulkan bahwa dengan hadirnya gaya yang demikian, DPRD kita ternyata tak ada gerakan dan data yang hendaknya langsung diberikan dan disodorkan kepada jokowi. Fenomena ini seperti menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh jokowi ini lebih merupakan wujud kekecewaan pula akan kinerja DPRD. Sebab bila DPRD berfungsi optimal, mestinya jokowi tak perlu turun gunung, untuk melihat langsung kepada masyrakat bawah.

Disamping itu,gaya jokowi ini penting mengingat selama ini jakarta lebih terkenal dengan bagaimana ruwetnya birokrasi dan aparatur negaranya. Dengan gaya jokowi-ahok ini diyakini jakarta akan lebih maju daripada sebelumnya. Optimisme ini dibawa melalui apa yang sudah dilakukan jokowi melihat persoalan dan realitas masyarakat yang memerlukan kesehatan dan pendidikan. Dengan kesehatan dan pendidikan itulah setidaknya masyarakat jakarta bisa membangun kotanya dengan tanpa masalah.

Selain itu, arus bawah inilah yang seringkali menjadi korban pembangunan, sebab kota jakarta sudah sesak dengan gaya pembangunan mall, perumahan dan pembangunan yang lain. Rakyat bawah inilah yang seringkali terpinggirkan dan menjadi tumbalnya. Dengan turun kebawah ini sebenarnya jokowi mengambil dua keuntungan. Keuntungan pertama ia bisa melihat persoalan langsung dari bawah, dengan dialog, dengan musyawarah dan dengan program langsung. Manfaat kedua adalah dengan politik seperti itu, jelas meredam protes yang datang dari kelas bawah. Demonstrasi dan protes akan meredam dengan sendirinya, sebab persoalan masyarakat bawah lebih didahulukan dan lebih dahulu diselesaikan. Sebab problem dan protes masyarakat kota seringkali muncul dari kalangan bawah bukan dari kalangan tengah.

Teladan

Bagi kita, politik ala jokowi yang marhaenisme dan ala koboi ini perlu dijadikan contoh untuk model kepemimpinan di negeri kita saat ini. Mengingat DPR kita yang sering keluyuran dan studi banding gak jelas yang menghamburkan uang miliaran rupiah. Hingga membangun rumah aspirasi yang tak optimal. DPR kita lebih mencerminkan bagaimana politik rente dan politik upeti dimainkan. DPR adalah lembaga yang hadir untuk menghabiskan uang negara, ini bukan hanya stigmatisasi, tetapi realitas di senayan sana menunjukkan bahwa citra DPR yang semakin rendah dan tak menunjukkan kinerjanya semakin membuat rakyat jengah.

Maka melihat hal itu, sudah semestinya SBY selaku presiden mestinya turun langsung untuk melihat persoalan rakyat indonesia.Mengingat persoalan di negeri ini banyak sekali dan memerlukan kecepatan dan ketanggapan yang serius. Sedangkan budiono lebih pada bagaimana membawa masalah tersebut untuk dieksekusi dan ditindaklanjuti. Sayang sekali, SBY dan budiono keduanya masih dipandang pemimpin yang lembek, sering mengeluh dan tak tegas. Kolaborasi keduanya lebih condong pada kepentingan politik semata.

Selain itu, gaya kepemimpinan SBY-budiono yang seringkali menggunakan mesin politiknya melalui media dan seluruh mesin politiknya lebih cenderung pada kerja pencitraan dan “politik pidato”. SBY sangat pandai menggunakan politik pidato ini sebagai mesin politiknya. Kita sudah sering melihat bagaimana SBY sering tampil sadar diri di depan kamera ketika rakyatnya demonstrasi dan protes. Ia sering memelas dan meminta belas kasihan rakyatnya melalui ekspresi tubuhnya. Dan seringkali kita merasa lucu mendengar bagaimana SBY berpidato dalam forum-forum hingga yang menghebohkan dunia yang ia lakukan ketika peringatan Hari Anak Nasional, yang dalam pidatonya mengingatkan anak kecil yang sedang tidur ketika ia lagi khusuk berpidato. Sentak fenomena ini mendapat reaksi dari para pengamat politik hingga akademisi Indonesia bahwa pemimpin kita ini benar—benar “lebay”.

Saya pikir politik marhaenisme ala jokowi perlu dijadikan referensi bagi SBY-budiono untuk menyikapi fenomena carut-marut dan persoalan bangsa ini.Bila SBY-budiono ingin memperbaiki citra kepemimpinannya dan ingin berbuat bukan untuk menyaingi jokowi melainkan sebagai tanggungjawabnya sebagai pemimpin di negri ini.Mengingat DPR kita yang makin malas mengurusi persoalan rakyatnya, kemacetan birokrasi dan merajalelanya korupsi yang butuh penanganan serius ketimbang pidato alay seperti yang dilakukan selama ini. Sebab negeri ini perlu tidak hanya democrat sejati yang pandai hanya dalam mimbar orasi, tapi juga perlu sosok yang jeli dan sigap mengurusi persoalan dengan cepat dan solusi yang tepat pula. Sebab macetnya kinerja DPR kita tak bisa dibiarkan terus-menerus melainkan perlu keteladanan pula dari pemimpinnya.

Sekali lagi politik ala marhaenisme yang dilakukan jokowi adalah politik yang bisa dijadikan referensi bagi kepemimpinan politik mutakhir. Bahwa pemimpin itu mesti turun kebawah, memerhatikan persoalan rakyat, dan sigap menanggapinya. Gaya kepemimpinan ini penting mengingat maraknya korupsi, macetnya birokrasi, dan kurangnya keteladanan kepemimpinan yang ada di negeri ini. Begitu.

*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi Solo Pengelola Kawah Institute Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline