Lihat ke Halaman Asli

Kautsar Saleksa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Pemaafan Ibu pada Sang Pembunuh: Pengkhianatan terhadap Keadilan atau Kebesaran Hati?

Diperbarui: 15 Desember 2024   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Baru-baru ini, jagad maya dihebohkan oleh kasus pembunuhan keluarga yang dilakukan oleh anaknya sendiri. Dilansir dari detik.com, Sabtu (14/12/2024), siswa Kelas X SMA ini membunuh ayah dan neneknya sendiri di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan, pada 30 November 2024. Sejauh ini belum jelas apa motif MAS membunuh dan melukai keluarganya sendiri.

Hasil pemeriksaan terungkap remaja MAS mengaku mendapatkan 'bisikan meresahkan' saat dirinya tidak bisa tidur. Ia kemudian berkeinginan membuat ayah dan ibunya 'masuk syurga'.

Bahkan ibu dari MAS (dengan inisial nama AP), mengalami luka akibat perbuatan yang dilakukan anaknya sendiri, AP dalam penuturan AKP Nurma Dewi mengungkap:

"Kalau kita mintain keterangan kemarin, ibunya sangat memaafkan. 'Bagaimana pun ceritanya dia tetap anak saya', itu yang dikatakan oleh ibunya," Mapolsek Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (13/12).

Berita tentang seorang ibu yang memaafkan remaja yang membunuh keluarganya di atas membawa kita ke perbatasan terdalam moralitas manusia. Tindakan ini mengundang kekaguman, tetapi sekaligus mengguncang hati: bagaimana mungkin seseorang, yang begitu dirugikan, mampu melampaui rasa sakitnya dan memilih memaafkan? Meski menyentuh secara emosional, memaksa kita untuk meninjau ulang pemahaman tentang keadilan, belas kasih, dan tanggung jawab moral.

Filsafat moral memberikan lensa yang tajam untuk menelaah dilema ini. Immanuel Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, berbicara tentang keadilan sebagai kewajiban moral universal. Dalam pandangan Kantian, kejahatan seperti pembunuhan melukai martabat manusia secara mendalam, sehingga hukuman adalah bentuk penghormatan terhadap prinsip moral itu sendiri. Dalam konteks ini, meskipun tindakan memaafkan bisa dianggap penuh belas kasih, tetapi dapat melemahkan komitmen terhadap keadilan yang tidak bersyarat. Keadilan, bagi Kant, tidak tunduk pada emosi pribadi, betapapun mulianya.

Namun, filsafat utilitarianisme, seperti yang digagas oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menawarkan sudut pandang lain. Dalam logika ini, tindakan dinilai dari konsekuensinya: apakah ia menghasilkan kebahagiaan atau mengurangi penderitaan? Jika pemaafan sang ibu mampu menghentikan siklus balas dendam, memulihkan hubungan sosial, dan memberikan peluang rehabilitasi bagi pelaku, maka itu dapat dianggap tindakan yang bermoral. Tetapi, utilitarianisme juga menuntut kita untuk bertanya: apakah kebahagiaan ini dirasakan semua pihak, atau justru menimbulkan luka baru bagi masyarakat yang melihat keadilan diabaikan?

Dimensi lain muncul dari pemikiran Aristoteles tentang kebajikan. Dalam Nicomachean Ethics, ia menggambarkan kebesaran hati (magnanimity) sebagai salah satu keutamaan moral tertinggi. Pemaafan ibu ini mungkin mencerminkan kebesaran hati yang luar biasa, sebuah pengakuan terhadap kelemahan manusia dan kapasitasnya untuk berubah. Namun, Aristoteles juga mengingatkan bahwa kebajikan harus selalu mempertimbangkan konteks. Pemaafan, betapapun luhur, tidak boleh mengabaikan tanggung jawab moral terhadap korban lainnya atau masyarakat yang lebih luas.

Hannah Arendt, dalam The Human Condition, menawarkan pandangan yang relevan. Arendt melihat pemaafan sebagai tindakan manusiawi yang membebaskan kita dari belenggu masa lalu. Ia memungkinkan awal baru, memutus rantai dendam dan kebencian. Namun, Arendt juga menekankan bahwa pemaafan tidak berarti menghapus konsekuensi moral dari sebuah tindakan. Dalam kasus ini, pemaafan sang ibu adalah momen yang sangat personal, tetapi sistem hukum tetap perlu berjalan untuk memastikan rasa keadilan bagi semua pihak.

Solusi praktis untuk dilema ini bisa ditemukan dalam pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan ini, seperti yang dijelaskan John Braithwaite dalam Restorative Justice and Responsive Regulation, berfokus pada dialog antara pelaku, korban, dan komunitas untuk memulihkan relasi yang rusak. Dengan cara ini, pengampunan pribadi tidak berarti mengabaikan tanggung jawab pelaku, tetapi membuka peluang bagi pemulihan yang lebih luas.

Pada akhirnya, berita ini mengajarkan bahwa pemaafan dan keadilan bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Dari sudut pandang filsafat moral melalui Kant, Bentham, Aristoteles, hingga Arendt, menunjukkan bahwa pemaafan tidak hanya soal melupakan, tetapi soal bagaimana kita memaknai luka dan kemanusiaan. Dalam dunia yang sering kali terjebak pada penghukuman, pengampunan adalah sebuah pengingat bahwa keadilan juga bisa dibarengi dengan belas kasih, tanpa kehilangan integritasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline