"Ke mana orang ini, jangan-jangan nekat pergi ke ladang nanam jagung," suara Yu Karti ngedumel sendiri sambil ngulek lombok mau bikin sambal trasi.
Tanpa pikir panjang Yu Karti menyusul suaminya ke ladang dengan gaya ngedumelnya sepanjang jalan seperti orang kurang waras. Ladang yang terletek di pinggir sungai tidak jauh dari rumahnya.
Sepanjang sungai dekat ladangnya dikelilinggi pohon pandan berduri yang terkesan angker. Pohon pandan biasanya oleh orang-orang kampung dibuat tikar untuk mengisi waktu senggang bila pekerjaan di sawah sedang vakum.
Sedangkan ladang sebelah selatan dan barat dipagari dengan berbagai pohon pepaya, pohon kelor, pohon nangka, pohon srikaya dan berbagai sayuran pagar seperti kecipir dan koro. Lengkap sudah bahan sayur dan buah untuk kebutuhan masak sehari-hari, tinggal petik secara bergantian
Di seberang utara sungai nampak segerombol pohon kepuh menjulang tinggi bertengger di bukit kecil. Pohon tersebut menjadi tempat yang nyaman untuk berlindung bagi ratusan kelelawar raksasa.
Orang kampung lebih familier menyebutnya hewan kalong. Pohon kepuh menpunyai ciri khas daunnya jarang yang menjadi kesukaan kalong untuk tidur atau bercengkerama bergelantungan di siang hari, mungkin capek karena di malam hari keluyuran melalang buana mencari makan.
Yang lebih menarik lagi di bukit tersebut terdapat satu makam yang dinaungi gubuk kecil seukuran panjang makam tersebut. Kurang jelas bagaimana sejarah makam tersebut. Orang kampung menyebutnya cungkup keramat.
Mitosnya di cungkup keramat sebagai ekornya naga sedang bertapa dan kepalanya berada di sendang sebelah tenggara yang berjarak kira-kira dua kilometer. Sendang tersebut terletak masih satu kampung yang bernama kampung Ringin Anom.
Sendang Ringin Anom merupakan sumur kecil yang menjadi andalan sumber air sebagian warga kampung tersebut. Sama dengan cungkup keramat sendang tersebut juga menjadi habitat nyaman bagi kalong-kalong.
Dengan cekatan tangan Yu Karti menarik tangan Pak Tompo suaminya, merampas sisa benih jagung yang sedang ditanam.
"Kamu itu gimana to Pak Pak, apa telinggamu kemarin ngak denger ya? Dibilangin ndakik-ndakik kok ngak ngubris, capek aku," suara Yu Karti tersendat-sendat.
"Pak besok ngak usah nanam jagung dulu ya, kan hujannya baru tiga kali saja, tanah juga belum basah sampai dalam, saya kawatir kalau nanti terlanjur nanam, hujan berikutnya belum turun lagi. Eman nanti uang hanya dikit kita mementingkan beli benih jagung, nanti ngak tumbuh jagungnya, kita nunggu aja kalau hujannya sudah sering,"pinta Yu Karti dengan semangat kemaren sore waktu di rumah.